Kala menyusuri jejak para sahabat yang terdapat di Makkah, sering jga membuat seseorang tak kuasa menahan air mata. Meski tapak-tapak rumah mereka, juga rumah Nabi bersama ibunda Khadijah telah rata dengan tanah, tetapi bayangan apa yang pernah mereka lalukan disana sungguh tak bisa dihapus begitu saja dengan mudah.
Pelataran yang terdapat di Ka’bah, Hijir Ismail, Shafa, Marwa, Jabal Abi Qubais, Jabal Ajyad, Syi’b Abu Thalib, Jabal Tsur, Jabal Nur, Masjid Bai’at di Mina, Masjid Namirah, Padang Arafah, Jabal Rahmah, Masy’ar al-Haram, Muzdalifah, hingga pada Ji’ranah dan Hudaibiyyah saat semuanya dijejaki disana, rasanya membuat bayangan Nabi dan para sahabat seolah hadir kembali.
Jejak-jejak kehidupan mereka tak akan pernah bisa lenyap dari muka bumi, meski telah tertimbun dengan bangunan baru. Selama kita terus mengingati, menghayati dan menghadirkannya kembali. Terutama, saat-saat kita melakukan tafakur, saat melakukan Tarwiyah di Mina, Wukuf di Arafah dan Mabit di Muzdalifah dan Mina.
Terkadang mungkin terbesit pula di benak kita ini yang akan membuat kita semua bertanya-tanya, “Mengapa, Allah menetapkan kawasan-kawan seperti Mina, Arafah dan Muzdalifah, atau Makkah dan juga Madinah sebagai tempat berhaji?”
Maka untuk mendapatkan petunjuk jawabannya, mungkin bisa jadi kita akan menemukannya kalau kita sering membaca dan menghayati isi dari ayat al-Qur’an. Dalam al-Qur’an terdapat suatu surat yang berbunyi demikian:
“Inna ha’ulai yuhibbuna al-‘ajilata wa yadzaruna wara’ahum yauman tsaqila [Sesungguhnya mereka mencintai kehidupan dunia, dan melupakan hari yang sangat berat [Hari Kiamat] di bekalang mereka].” (Q.s. al-Mursalat: 27).
Hari setelah kita dibangkitkan dari kubur itu adalah hari yang sangat berat. Allah menyebutnya dengan “Yauman Tsaqila”, dimana terik panas matahari begitu luar biasa menyengat kepala dan tubuh kita. Kita harus antri menunggu giliran, dimintai pertanggungjawaban oleh Allah satu per satu.
Miniatur “Yauman Tsaqila” itu kita temukan, saat lebih dari 4 juta orang berkumpul di Mina, Arafah dan Muzdalifah, dengan terik panas yang luar biasa. Semuanya berkumpul di padang. Saat ini kita memang masih bisa berteduh, tetapi nanti, saat “Yauman Tsaqila” itu benar-benar kita lalui.
Oh.. tidak bisa dibayangkan betapa beratnya. Maka, kita diperintahkan untuk banyak melakukan tafakur, merenungkan apa yang telah, sedang dan akan kita lakukan dalam hidup ini untuk menghadapi “Yauman Tsaqila” itu.
Dan tak jarang pula kita akan meneteskan air mata saat Khutbah Arafah, yang dapat membuat diri ini membayangkan keadaan diri kita, dengan dosa-dosa yang tak terkira, dan bagaimana kelak kita akan menghadapi “Yauman Tsaqila”.
Terlebih, saat kita membandingkan diri yang tertawan dosa ini dengan para sahabat Nabi yang selalu menangis, karena takut kepada Allah, takut menghadapi “Yauman Tsaqila”. Bukan takut karena dosa mereka banyak, kata Nabi. Tetapi, takut karena amal mereka tidak diterima oleh Allah SWT. Allah Akbar.
Kalau para sahabat begitu takut amal mereka tidak diterima, sehingga membuat mereka selalu berhati-hati dalam berbuat dan tidak menambah dosa, sembari terus menangisi kekurangan diri mereka, kita justru merasa aman. Seolah amal kita sudah sempurna, dan sudah diterima oleh Allah SWT.