Ilmu, adalah sebuah pengetahuan (knowledge, ma‘rifah) yang diperoleh melalui metode pengamatan (observation), percobaan (experiment), dan juga penarikan kesimpulan dari fakta-fakta empiris (inference). Contohnya adalah ilmu fisika, kimia, dan ilmu-ilmu eksperimental lainnya.
Adapun tsaqâfah adalah sebuah pengetahuan yang diperoleh melalui metode pemberitahuan (al-ikhbâr), penyampaian transmisional (ar-talaqqi), dan penyimpulan dari pemikiran (istinbâth). Contohnya adalah sejarah, bahasa, hukum, filsafat, dan segala pengetahuan non-eksperimental lainnya.
Dalam khazanah pengetahuan kontemporer, istilah ilmu dalam klasifikasi di atas, begitu identic dengan ilmu-ilmu alam (natural sciences), yang sering disingkat ‘sains’ atau dalam Bahasa Indonesia juga lazim disebut IPA (Ilmu Pengetahuan Alam), sedangkan tsaqâfah kurang lebih identik dengan ilmu-ilmu sosial (social sciences) atau yang dalam Bahasa Indonesia juga lazim dikenal dengan istilah IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial).
Sebagian intelektual, seperti Jujun S. Suriasumantri (Kompas, 27/4/1983), mengklasifikasikan pengetahuan menjadi dua cabang besar, yaitu ilmu (science), (yang mencakup ilmu-ilmu alam dan sosial), dan humaniora (humanities). Humaniora, menurut Elwood (1975) adalah seperangkat sikap dan perilaku moral manusia terhadap sesamanya (L. Wilardjo dalam Suriasumantri, 1992: 237), yang meliputi filsafat, moral, seni, sejarah, dan bahasa.
Istilah lain dikemukakan oleh S. Waqar Ahmed Husaini dalam bukunya Islamic Sciences (2002: 34-57), yang mengklasifikasikan pengetahuan menjadi dua, yaitu ilmu-ilmu alam (natural sicencies) dan ilmu-ilmu sosial-humanistik (humanistic-social sciences). Yang terakhir ini adalah gabungan ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Istilah tsaqâfah menurut An-Nabhani tampaknya lebih tepat diterjemahkan sebagai humanistic-social sciences, daripada sekadar social sciences.
Dari definisi ilmu dan tsaqâfah An-Nabhani di atas, dapat dianalisis bahwa kriteria dasar klasifikasinya adalah metode yang digunakan memperoleh pengetahuan, atau aspek epistemologisnya.
Ilmu diperoleh melalui metode ilmiah yang asumsi dasarnya adalah netral atau bebas nilai. Sebaliknya, tsaqâfah tidak diperoleh melalui metode ilmiah, melainkan metode rasional (rational method), yaitu metode berpikir terhadap suatu fakta empiris dengan cara mengindera fakta tersebut lalu mentransfernya ke dalam otak melalui pancaindera, serta memberikan penafsiran atau keputusan (judgement) terhadap fakta tersebut dengan seperangkat informasi sebelumnya yang telah ada dalam memori otak.
Kesimpulan yang diperoleh dari metode atau pendekatan rasional ini, dengan sendirinya, tidaklah universal, karena bergantung pada jenis informasi yang dikaitkan dengan fakta yang ada. Riba (baik disebut interest atau usury) sebagai suatu fakta akan ditafsirkan secara berbeda oleh seorang Muslim dan orang sekular. Orang Muslim akan menilai riba haram; orang kapitalis sekular akan menganggapnya baik, menguntungkan, dan bahkan menjadi tulang punggung sistem ekonomi Barat.
Kesimpulannya, dasar klasifikasi di atas sesungguhnya ada 2 (dua): Pertama, aspek epistemologisnya, yaitu metode berpikir yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan. Ilmu diperoleh melalui metode ilmiah, sedangkan tsaqâfah melalui metode rasional. Kedua, aspek nilainya, yaitu keterkaitan pengetahuan dengan pandangan hidup (wijhah an-nazhar, world-view, weltanschauung) atau apa yang sering disebut nilai (value), yang didefinisikan sebagai sesuatu yang mempunyai harga dan karenanya dianggap baik atau benar, atau sesuatu yang diharapkan atau ingin dimiliki oleh manusia (Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 1992:13).