Ilmu adalah pengetahuan yang bebas nilai (value-free), sedangkan tsaqâfah adalah pengetahuan yang mengandung nilai (value-bound). Namun, patut dicatat, bahwa karakter bebas-nilai pada ilmu hanya ada pada dataran epistemologinya.
Dalam dataran aksiologi, yaitu studi mengenai bagaimana menerapkan suatu pengetahuan, karakter ilmu tidaklah netral, tetapi bergantung pada pandangan hidup penggunanya. Internet sebagai contohnya, dapat dimanfaatkan sebagai sarana dakwah, tetapi juga dapat digunakan sebagai sarana penyebaran pornografi.
Dengan memahami dasar klasifikasi yang telah diterangkan sebelumnya (bisa dilihat di part 1), kita akan dapat memahami mengapa ada beberapa pengecualian untuk beberapa cabang pengetahuan ketika diklasifikasikan, apakah masuk kategori ilmu atau tsaqâfah.
Ada pengetahuan yang aslinya merupakan tsaqâfah, karena tidak eksperimental, namun kemudian digolongkan sebagai ilmu, karena tidak terkait dengan pandangan hidup dan bersifat universal. Contohnya saja seperti misalnya ilmu hisab (astronomi), perdagangan, pelayaran (al-milâhah), dan kerajinan tangan atau keahlian produksi barang (ash-shinâ’ât).
Mengenai astronomi, dalam sejarah Islam diketahui banyak dilakukan penerjemahan buku-buku astronomi berbahasa India dan Yunani. Muhammad A. Fajari (w. 161 H), seorang astronom Muslim, menerjemahkan buku astronomi berbahasa India, Shiddhanta Barahmagupta (ilmu bintang), ke dalam bahasa Arab.
Astronom Muslim lainnya, Yakub Ibn Thariq (w. 162 H) menerjemahkan Shiddanta Aryabhrata dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Arab. Hunain Ibn Ishaq menerjemahkan Almagest (karya Ptolomeus) dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab (Sriyatin Shadiq, 1995: 61).
Jadi, walaupun astronomi asalnya adalah tsaqâfah, karena dimiliki bangsa non-Muslim dan diperoleh secara non-eksperimental, namun kemudian dimasukkan ke dalam kategori ilmu, karena sifatnya yang universal dan bebas nilai.
Dari penjelasan yang telah dijabarkan, paling tidak ada 3 (tiga) aspek yang membedakan ilmu dengan tsaqâfah.
Pertama, aspek epistemologinya (metode memperoleh pengetahuan). Ilmu diperoleh dari metode ilmiah yaitu melalui observasi, eksperimen ilmiah, dan inferensi terhadap benda-benda material dalam laboratorium. Sebaliknya, tsaqâfah diperoleh bukan dari metode ilmiah, melainkan metode rasional berupa penyampaian informasi (misalnya dalam akidah Islam), penyampaian trasmisional (misalnya ilmu tarikh, riwayat hadis), dan penyimpulan dari pemikiran (misalnya fikih Islam).
Kedua, aspek nilainya (kaitannya dengan nilai kehidupan). Ilmu bersifat bebas nilai dan universal, sedangkan tsaqâfah tidak bebas nilai dan juga tidak universal.
Ketiga, aspek adopsi. Ilmu dapat diadopsi oleh umat Islam dari manapun sumbernya, walaupun dari bangsa non-Muslim. Sebaliknya, tsaqâfah tidak boleh diadopsi dari bangsa non-Muslim karena pasti mengandung pandangan hidup yang bertentangan dengan akidah dan syariat Islam.
Implikasi perbedaan ini sangat radikal dan fundamental, khususnya yang menyangkut tsaqâfah. Dalam hal ilmu, masyarakat Islam pada masa datang masih dapat memanfaatkan kemajuan sains dan teknologi semaksimal mungkin. Sebab, sains dan teknologi terkategori ilmu yang bersifat universal dan dapat diadopsi dari mana saja sumbernya.
Namun, dalam hal tsaqâfah, masyarakat Islam tidak boleh mengadopsi tsaqâfah non muslim, yaitu segala konsep atau pengetahuan non-eksperimental yang lahir dari paradigma sekularisme. Semuanya telah dipengaruhi oleh pandangan hidup dan nilai-nilai ideologi kapitalisme sehingga tidak boleh diadopsi, dipraktikkan, dan disebarluaskan. Namun, dalam jenjang pendidikan tinggi, berbagai ide dan ideologi asing seperti itu tetap boleh dipelajari dalam rangka untuk dikritisi, bukan diadopsi.
Jadi, tatanan masyarakat Islam akan dapat dibayangkan, yaitu maju secara sains dan teknologi, namun tetap islami dalam pemikiran, perasaan, dan peraturannya. Semoga ke depannya Islam dapat kembali bangkit dan berjaya. Aamin.