Di masa lalu, mesin uap juga telah menggeser jutaan buruh. Penerangan listrik menggeser jutaan petugas penyala obor penerangan jalan. Sentra Telepon Otomatis menggeser jutaan petugas switching Telkom. Maka kini, tiga komponen penting dalam industri 4.0 yaitu IoT, BigData, dan AI, nantinya diprediksi akan menggeser jutaan sekretaris, sopir, penerjemah, satpam, bahkan guru!
Maka orang lalu ada yang bertanya, di mana peran Islam dalam kondisi seperti ini? Apakah revolusi sejenis ini ada contohnya di masa lalu dimana Islam membuktikan mampu mengendalikannya?
Tentu saja, sejarah peradaban Islam pernah mengalami revolusi yang mempengaruhi produksi dan juga menggeser sejumlah profesi. Revolusi apakah itu? Revolusi itu adalah revolusi pertanian.
Āḥmad ibn Dawūd Dīnawarī (828-896) menulis Kitâb al-nabât dan mendeskripsikan sedikitnya 637 tanaman sejak “lahir” hingga matinya, juga mengkaji aplikasi astronomi dan meteorologi untuk pertanian, seperti posisi matahari, angin, hujan, petir, sungai, mata air. Dia juga mengkaji geografi dalam konteks pertanian, seperti tentang batuan, pasir dan tipe-tipe tanah yang lebih cocok untuk tanaman tertentu.
Abu Bakr Ahmed ibn ‘Ali ibn Qays al-Wahsyiyah (sekitar 904 M) menulis Kitab al-falaha al-nabatiya yang mengandung 8 juz yang kelak merevolusi pertanian, antara lain tentang teknik mencari sumber air, menggalinya, menaikkannya ke atas. Di Barat teknik ini disebut “Nabatean Agriculture”.
Para insinyur muslim merintis berbagai teknologi terkait air, baik untuk irigasi atau menjalankan mesin giling. Dengan mesin ini, setiap penggilingan di Baghdad abad 10 sudah mampu menghasilkan 10 ton gandum setiap hari. Pada 1206 al-Jazari menemukan berbagai variasi mesin air yang bekerja otomatis. Berbagai elemen mesin buatannya ini tetap aktual hingga sekarang, ketika mesin digerakkan dengan uap atau listrik.
Pada abad 13, Abu al-Abbas al-Nabati dari Andalusia telah mengembangkan metode ilmiah untuk botani, mengantar metode eksperimental dalam menguji, mendeskripsikan, dan mengidentifikasi berbagai materi hidup dan memisahkan laporan observasi yang tidak bisa diverifikasi.
Ibnu al-Baitar (wafat 1248) juga mempublikasikan Kitab berjudul al-Jami fi al-Adwiya al-Mufrada, yang merupakan kompilasi botani terbesar selama berabad-abad. Kitab itu memuat sedikitnya 1400 tanaman yang berbeda, makanan, dan obat, yang 300 di antaranya penemuannya sendiri.
Ibnu al-Baitar juga meneliti tentang anatomi hewan dan merupakan bapak ilmu kedokteran hewan, sampai-sampai istilah Arab untuk ilmu kedokteran hewan ini jadi menggunakan namanya.
Ini adalah sedikit fakta yang terkait langsung dengan pertanian dalam arti sempit. Namun revolusi pertanian yang sesungguhnya terjadi dengan berbagai penemuan lain. Alat-alat prediksi cuaca, peralatan mempersiapkan lahan, teknologi irigasi, pemupukan, pengendalian hama, pengolahan pasca panen, hingga manajemen perusahaan. Kombinasi sinergik semua ini menghasilkan akselerasi dan pada moment tertentu layak untuk disebut “revolusi pertanian muslim”.
Revolusi ini menaikkan panenan hingga 100% pada tanah yang sama. Kaum muslim mengembangkan pendekatan ilmiah yang berbasis tiga unsur: sistem rotasi tanaman, irigasi yang canggih, dan kajian jenis tanaman yang cocok dengan tipe tanah, musim, serta jumlah air yang tersedia. Ini adalah cikal bakal “precission agriculture”.
Revolusi ini ditunjang berbagai hukum pertanahan Islam, sehingga orang yang memproduktifkan tanah mendapat insentif. Tanah tidak lagi dimonopoli kaum feodal dan tak ada lagi petani yang merasa dizalimi sehingga malas-malasan mengolah tanah. Negara juga menyebarkan informasi teknologi pertanian sampai ke para petani di pelosok-pelosok.