Ibadah puasa merupakan ibadah yang memiliki arti penting bagi umat Islam. Ibadah ini menjadi jalan untuk menunjukkan penghambaan manusia kepada Allah SWT. Dalam menjalankan puasa, kita tidak hanya dituntut untuk menahan nafsu makan, namun juga nafsu-nafsu lainnya. Ini berarti, ibadah puasa memerlukan kekuatan fisik serta kekuatan batin agar puasa menjadi sempurna.
Puasa untuk Mengendalikan Nafsu Manusia
Dijelaskan oleh para ulama, tujuan puasa adalah untuk mengendalikan nafsu dan kebebasan manusia dalam memilih aktivitasnya. Dalam hal ini, makan, minum, dan berhubungan intim. Sejak zaman dahulu hingga sekarang, kebutuhan-kebutuhan tersebut menjadi tantangan bagi umat manusia dalam menjalani kehidupannya. Karena itu, puasa merupakan ibadah yang tepat untuk mengendalikan kebutuhan tersebut.
Perintah Puasa Ramadhan Sejak Tahun 2 Hijriyah
Umat Islam menerima perintah untuk berpuasa Ramadhan pada tahun ke-2 Hijriah. Tepatnya di bulan Sya’ban, setengah tahun setelah peristiwa Hijrah ke Madinah. Saat itu adalah 15 tahun sejak Nabi Muhammad ditunjuk sebagai Rasul. Di tahun ke-13, Rasulullah hijrah ke Madinah, dan 2 tahun setelahnya, perintah wajib puasa Ramadhan diturunkan. Perintah Puasa Ramadhan diturunkan setelah umat Islam diperintahkan untuk memindahkan kiblat ke Masjidil Haram.
Puasa Ayyamul Bidh dan Asyura, Puasa Sebelum Puasa Ramadhan
Sebelum diwajibkan menunaikan ibadah puasa sebulan penuh di bulan Ramadhan, manusia sebelumnya telah mendapatkan perintah puasa. Perintah puasa yang pertama adalah puasa tiga hari setiap bulan, atau yang dikenal dengan nama puasa Ayyamul Bidh. Puasa ini dilakukan di pertengahan bulan, pada tanggal 13 hingga 5 bulan setiap bulannya.
Puasa Ayyamul Bidh diperintahkan kepada Nabi Adam ketika diturunkan ke bumi. Saat itu, tubuh Nabi Adam menghitam karena terbakar sinar matahari. Allah kemudian memerintahkan untuk melakukan puasa pada hari-hari putih, atau Ayyamul Bidh. Setelah melakukan puasa selama 3 hari, tubuh Nabi Adam kembali menjadi putih.
Selain puasa Ayyamul Bidh, ada juga puasa Asyura. Puasa tersebut dilakukan pada 10 Muharam. Disebutkan dalam suatu hadist yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Aisyah, “Dahulu, hari Asyura adalah hari di mana kaum Quraisy berpuasa padanya pada masa jahiliyah. Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasalam berpuasa pada hari Asyura. Tatkala Beliau datang ke Madinah, Beliau juga berpuasa padanya, dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa padanya. Lalu ketika turun (wajibnya puasa) Ramadhan, barangsiapa yang mau ia boleh berpuasa padanya, barangsiapa yang mau ia boleh juga untuk tidak berpuasa padanya”.
Saat itu, Rasulullah yang baru tiba di Madinah melihat orang Yahudi di sana menunaikan puasa di tanggal 10 Muharram. Menurut orang Yahudi, pada tanggal 10 Muharram, Allah SWT menyelamatkan Nabi Musa dan kaumnya dari Firaun. Karena itulah Nabi Musa memerintahkan umatnya untuk berpuasa pada 10 Muharram, sebagai tanda syukur kepada Allah.
Nabi Muhammad kemudian juga memerintahkan umat Islam untuk berpuasa di tanggal 10 Muharram. Namun agar berbeda dengan puasa orang Yahudi, Rasulullah kemudian memerintahkan berpuasa di tanggal 9 Muharram, yaitu puasa Tasu’a.
Kedua puasa tersebut tidak diwajibkan oleh Rasulullah. Perintah wajib untuk berpuasa baru hadir ketika turun firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 183 dan 184, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu.”