Di Bulan Ramadhan, banyak masjid-masjid yang semakin ramai. Para jamaah yang datang ke rumah Allah ini merupakan tamu istimewa dari Allah. Dengan ijin Allah, kita melangkahkan kaki menuju masjid untuk melaksanakan berbagai ibadah di masjid. Mulai dari menyiapkan ta’jil, tadarus, shalat wajib berjamaah, hingga shalat tarawih.
Shalat tarawih adalah ibadah yang hanya ada di bulan Ramadhan. Karena itulah ibadah ini merupakan ibadah yang istimewa. Ibadah ini merupakan shalat sunnah, yang jumlah rakaatnya mulai dari 8 hingga 20.
Perbedaan Jumlah Rakaat Tarawih
Jumlah rakaat shalat tarawih memang berbeda. Di Indonesia, ada masjid yang melaksanakan shalat tarawih delapan rakaat, ada juga yang 20 rakaat. Sebenarnya, tidak ada hadist shahih yang mengatur jumlah rakaat shalat tarawih. Bahkan menurut para ulama, istilah shalat tarawih tidak ada pada masa Rasulullah. Kalaupun ada hadist yang shahih dari segi penunjukkan maknanya, tidak ada yang menyebutkan pasti jumlah rakaat shalat tarawih.
Ibadah di Bulan Ramadhan yang Bisa Menggugurkan Dosa
Ada sebuah hadist yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim, yaitu “Barangsiapa ibadah di bulan Ramadhan seraya beriman dan ikhlas, maka diampuni baginya dosa yang telah lampau”. Para ulama sepakat bahwa kalimat “ibadah di Bulan Ramadhan” merujuk pada shalat Tarawih.
Rasulullah Terbiasa Shalat di Malam Hari di Bulan Ramadhan
Shalat tarawih dilakukan oleh umat muslim saat ini karena Rasulullah biasa beribadah shalat di malam hari di Bulan Ramadhan. Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah, suatu malam Rasulullah berada di masjid untuk sholat, kemudian para Sahabat mengikutinya. Hari berikutnya, Rasulullah shalat lagi seperti di hari pertama, dan lebih banyak jamaah yang mengikuti di belakangnya.
Lalu di hari ketiga dan keempat, Sahabat berkumpul di masjid menunggu Rasulullah untuk shalat bersama-sama. Akan tetapi, rasulullah tidak kunjung datang hingga subuh. Rasulullah kemudian menjelaskan alasan mengapa beliau tidak hadir. Rasulullah bersabda, “Aku telah melihat apa yang kalian lakukan, tidaklah mencegahku untuk keluar shalat bersama kalian, kecuali aku khawatir shalat ini difardlukan atas kalian”. Perawi hadist ini mengungkapkan bahwa peristiwa itu terjadi pada bulan Ramadhan.
Rasulullah tidak datang setiap malam karena tidak ingin umatnya menganggap ibadah shalat di malam hari ini adalah wajib. Sunnah itu kemudian berlanjut hingga masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
Umar bin Khattab Merutinkan Shalat Tarawih Berjamaah di Masjid
Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, shalat tarawih mulai dirutinkan. Ide Umar bin Khattab ini disepakati oleh para sahabat. Sejak saat itu, setiap malam ada shalat berjamaah di masjid hingga akhir Ramadhan.
Ada perbedaan di masa Rasulullah dan di kekhalifahan Umar bin Khattab. Jika di masa Rasulullah, ibadah tersebut masih rentan dianggap wajib, namun seiring berjalannya waktu, anggapan itu hilang di masa kekhalifahan Umar. Ketika diberlakukan shalat tarawih berjamaah di bulan Ramadhan di masa Umar, sudah tidak ada lagi anggapan bahwa shalat tarawih di masjid adalah ibadah yang wajib. Itulah yang membuat Umar bin Khattab berani mengajak umat muslim untuk shalat berjamaah setiap malam di Bulan Ramadhan.
Di masa Umar Bin Khattab, shalat yang dilaksanakan berjumlah 23 rakaat. Jumlah ini terdiri dari 20 rakaat shalat tarawih, dan tiga rakaat shalat witir.
Asal Kata Tarawih
Shalat malam hari di bulan Ramadhan ini dinamakan tarawih. Kata “tarawih” sendiri merupakan bentuk jamak dari kata “tarwihah” yang artinya mengistirahatkan atau duduk istirahat. Penyebutan ini merujuk pada salah satu ucapan Aisyah R.A. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Imam Al-Baihaqi, Aisyah menyebut kata “yutarawwah”. Hadist tersebut berbunyi, “Nabi SAW melaksanakan shalat malam sebanyak empat rakaat, kemudian istirahat (yutarawwah), kemudian melanjutkan shalatnya lagi dengan rakaat yang panjang sampai aku merasa kasihan padanya. Lalu aku berkata : Wahai Rasulullah, bukankah Allah telah mengampuni dosa-dosamu baik yang telah lalu maupun yang akan datang? Beliau menjawab : bukankah seharusnya akay menjadi hamba yang bersyukur?”