Lebih dulu, penting kita pahami makna rizki. Pasalnya, selama ini, rizki sering dimaknai sekadar aneka rupa benda: uang atau makanan. Tidak jarang, kesehatan, kesempatan, bahkan hidayah kita sangka bukan rizki.
Kata “rizki” berasal dari bahasa Arab: razaqa yarzuqu rizqun. Dalam kamus Maqayis Al-Lughah karya Ibu Faris, rizqun artinya segala pemberian Allah kepada kita. Sementara Abu Al-Baqa Al-Kafawi, dalam Al-Kulliyyat, mendefinisikan rizki adalah segala karunia yang dapat dimanfaatkan, baik yang bisa dimakan atau tidak bisa dimakan.
Itulah makna rizki. Makanya, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), rizki didefinisikan segala sesuatu pemberian Tuhan yang dipakai untuk memelihara kehidupan. Dengan demikian, banyak rizki yang bukan berwujud materi atau benda.
Al-Qur’an sendiri puluhan kali menyebut rizki. Tidak seluruhnya bermakna materi atau benda. “Dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, kemudian terbunuh atau mati, maka Allah akan berikan rizki yang baik.” Makna rizki di situ ialah surga. Ayat setelahnya, “…wa innallaha la huwa khairurraziqin,” artinya ialah “…sungguh Allah adalah sebaik-baik pemberi pahala.” (Qs Al-Hajj [22]: 58).
Tegasnya, sekali lagi, rizki adalah segala karunia Allah yang baik, bermanfaat, dan menyenangkan bagi manusia. Kalau pemberian dari Allah itu tidak kita suka, namanya musibah.
Ada dua jenis rizki. Pertama, rizki yang didapat dengan usaha atau kerja (kasbi). Di sini tidak ada syarat iman. Rumusnya, siapa berusaha, dapatlah dia. Makanya, ada penjahat tetapi hartawan, ahli maksiat namun konglomerat. Pernah lihat, bukan? Rizki jenis ini memang berasal dari sifat rahman (murah) Allah. Jadi, perolehannya sama sekali tidak mencerminkan cinta Allah kepada sang penerima.
Kedua, ialah rizki tiban (wahbi). Datangnya dadakan, di luar prediksi akal, juga tidak butuh jerih payah. Misalnya, buruh rendahan tiba-tiba dihadiahi kendaraan, mubaligh desa mendadak menerima undangan haji atau umrah. Rizki ini mutlak dari sifat rahim (sayang) Allah. Makanya, yang paling potensial mendapat rizki jenis ini adalah ahli takwa. “Siapa yang bertakwa kepada Allah, pasti Allah akan berikan jalan keluar baginya dari segala kesulitan. Dan Allah akan berikan rizki dari arah yang tidak dia sangka-sangka.” (Qs At-Thalaq [65]: 2-3).
Allah, sebagai sumber rizki, disebut Ar-Razzaq, Maha Pemberi Rizki. Dia lapangkan rizki siapa saja yang dikehendaki. Allah tahu ukuran masing-masing. Secara umum, berkah maknanya tambah dan tumbuh. Menurut Ibnul Qayim, berkah itu kenikmatan dan tambahan. Raghib Al-Ishfahani mengartikan berkah ialah tetapnya kebaikan Allah terhadap sesuatu. Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menerjemahkan kebaikan yang banyak. Adapun Al-Mubarak berkata, berkah adalah kebaikan yang terus-menerus.
Idenya, dan inilah yang harus kita pegang, rizki berkah itu soal kualitas (nilainya), bukan kuantitas (banyaknya). Boleh jadi gaji bulanan kita cuma sejuta, namun bereslah nafkah keluarga. Pendapatan kita tidak banyak, tetapi ternyata selalu menutup kebutuhan. Karena, kita dijauhkan dari tumpukan keinginan. Rizki kita berkah.
Rumah kita biasa, rupanya anak-anak kita sangat melipur jiwa. Karier kita ala kadarnya, tetapi hati kita selalu berbunga. Fisik kita dan keluarga fit, sehingga bisa istiqamah beribadah dan bersyukur kepada Allah. Jabatan kita yang tidak mewah malah mampu menebar manfaat luas bagi sekitar. Ini juga rizki berkah.
Pastinya, rizki berkah merupakan bentuk kasih sayang Allah. Memunculkan ketenangan batin dan mendorong kebahagiaan fisik bagi penerimanya. Indikator rizki berkah pasti bukan uang banyak atau harta benda berkelas. Rizki berkah adalah adanya kasih sayang Allah di dalamnya, sehingga hidup kita menjadi tenteram, bermanfaat, dan bahagia.
Makin bertambah karunia yang diterima, makin intim ibadah dan syukur kita kepada Allah. Sebab, rizki berkah senantiasa mendorong semangat beramal mulia. Mungkin kadarnya tidak seberapa, namun manfaat dan pengaruhnya terhadap kebaikan diri dan lingkungan, sungguh luar biasa. Itulah rizki berkah, harapan kita semua.•