Masya Allah, kisah persahabatan yang patut dicontoh…
Bismillah
Salman Al Farisi sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mu’minah shalihah juga telah mengambil tempat di hatinya.
Tapi bagaimanapun, ia merasa asing di Madinah ini. Sebagai imigran asal Persia, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik.
Gelegak hati itu akhirnya ia sampaikan kepada sahabat Anshar yang telah dipersaudarakan dengannya, Abu Darda’. Salman ingin Abu Darda’ menjadi juru bicara dalam proses Khitbah yang ingin ia lakukan.
.
”Subhanallaah.. wal hamdulillaah.. ,” girang Abu Darda’ mendengarnya. Keduanya tersenyum bahagia dan berpelukan.
.
”Saya adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.,” fasih Abu Darda’ berbicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni, kepada orang tua si wanita.
.
”Adalah kehormatan bagi kami,” ucap tuan rumah, “menerima Anda berdua, shahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang shahabat Rasulullah. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami”
Abu Darda dan Salman menunggu dengan berdebar-debar. Hingga sang ibu muncul kembali setelah berdiskusi dengan puterinya.
.
”Maafkan kami atas keterusterangan ini,” kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena Anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abu Darda’ juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan”
Keterusterangan itu ada di luar perkiraan kedua sahabat tersebut. Mengejutkan bahwa sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya.
Bayangkan sebuah perasaan campur aduk dimana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran. Ya, bagaimanapun Salman memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya.
Namun mari kita simak apa reaksi Salman, sahabat yang mulia ini:
”Allahu Akbar!” seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abu Darda,’ dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!”
Betapa indahnya kebesaran hati Salman Al Farisi. Ia begitu paham bahwa cinta, betapapun besarnya, kepada seorang wanita tidaklah serta merta memberinya hak untuk memiliki. Sebelum lamaran diterima, sebelum ijab qabul diikrarkan, tidaklah cinta menghalalkan hubungan dua insan.
Ia juga sangat paham akan arti persahabatan sejati. Apalagi Abu Darda’ telah dipersaudarakan oleh Rasulullaah saw dengannya. Bukanlah seorang saudara jika ia tidak turut bergembira atas kebahagiaan saudaranya. Bukanlah saudara jika ia merasa dengki atas kebahagiaan dan nikmat atas saudaranya.