Agama itu nasihat. Begitulah sabda Nabi SAW. Artinya setiap muslim – termasuk muslimah – membawa kewajiban untuk saling memberikan nasihat. Termasuk istri-istri kita. Selain berperan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, seorang muslimah adalah da’iyyah bagi umat. Partisipasi mereka dalam membangun dan menyelamatkan umat amat ditunggu.
Allah SWT. memberikan sifat orang-orang beriman lelaki dan perempuan sebagai kelompok manusia yang gemar beramar maruf nahiy munkar. FirmanNya:
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma´ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana
Bukan hal yang baru bagaimana kaum perempuan sudah banyak menorehkan tinta emas dakwah tauhid ini di muka bumi. Di masa Fir’aun ada Asiyah dan Masyitoh, dua wanita mulia penegak kalimat tauhid di era dakwah Nabi Musa as. Tak ada yang meragukan ketegaran iman dua perempuan agung ini.
Di masa Rasulullah SAW. ada Khadijah binti Khuwailid ra. yang dengan kematangan emosionalnya, kecerdasannya bahkan hartanya, digunakan untuk menjaga dakwah suaminya tercinta, Rasulullah SAW.
Lalu ada Fatimah binti Khaththab ra. yang berhasil mengantarkan hidayah pada kakaknya, Umar bin Khaththab ra., meski saat itu Fatimah sudah babak belur akibat pukulan demi pukulan dari kakak kandungnya itu. Tak sia-sia, karena kemudian kakaknya menjadi sahabat mulia dan salah satu dari Khulafa ar-Rasyidin.
Ada Sofiyah binti Abdul Muthalib ra. yang dengan kekuatan bujukannya bisa mengantarkan kakak kandungnya, Hamzah bin Abdul Muthalib yang kala itu belum masuk Islam, mau menolong Nabi yang tengah disiksa kaum kafir Quraisy. Bujukan itu ternyata juga membuat Hamzah memeluk Islam dan menjadi Singa Padang Pasir yang disegani kaum kuffar.
Tak ada alasan bagi muslimah untuk tak berdakwah. Juga tak pantas para suami membuat-buat alasan untuk menghalangi dakwah istri-istri mereka. Allah Ta’ala sudah membagi waktu untuk setiap muslim; waktu untuk ibadah, waktu untuk dunia, waktu untuk keluarga, dan juga waktu untuk berdakwah. Seorang istri juga punya kewajiban mengemban amanah dakwah.
Namun ada kalanya istri yang awalnya – atau sejak gadis – giat berdakwah mengalami fase futur. Menghentikan kegiatan dakwah bahkan kemudian hilang sama sekali dari amal yang mulia ini.
Sebagai suami, semestinya peka dengan kondisi demikian. Ini bukanlah keadaan yang positif, apalagi bila melihat istri dalam keadaan lapang, tak ada uzur syar’iy. Meski mungkin ada sisi yang dirasa menguntungkan suami, yakni istri jadi sering di rumah. Namun, bagaimana dengan kegiatan dakwah yang membutuhkan peran perempuan? Bukankah itu juga kewajiban?
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan suami agar istri dapat terlepas dari fase futur berdakwah:
PERTAMA, ingatkan lagi akan kewajiban dakwah, kewajiban menuntut ilmu, dan betapa umat membutuhkan kehadiran para da’iyyah. Ingatkan bahwa pernikahan yang dibangun bersama diantaranya karena komitmen pada dakwah. Sampaikan dengan halus dan hati-hati karena tabiat perempuan yang seperti kaca dan tulang rusuk yang bengkok.
KEDUA, adakalanya istri sudah kelelahan dengan aktifitas di rumah sehingga berdampak pada berkurangnya aktifitas dakwahnya. Dalam keadaan ini maka bantulah meringankan tugas rumah tangga istri; bila ada rizki berlebih maka belilah mesin cuci, mempekerjakan khadimah, dan tak mengapa sesekali suami membantu pekerjaan rumah tangga termasuk mengasuh anak. Itu tak akan mengurangi kewibawaan suami di mata Allah SWT.
KETIGA, cobalah suami juga introspeksi diri. Jangan-jangan suamilah penyebab istri futur dalam berdakwah. Ya, ada suami yang ketat dalam mengatur kegiatan istri, termasuk melarang istri beraktifitas di luar. Benar, suami wajib ditaati, dan besar pula fadilah istri yang menaati suami, namun disinilah suami perlu merenungi lagi; bahwa istri pun punya kewajiban menuntut ilmu dalam majlis ta’lim dan juga kewajiban menyampaikan ilmu pada sesama muslimah. Dengan memberikan izin pada waktu tertentu tidak akan mengurangi ketaatan istri pada suami. Apalagi bila ternyata di rumah istri pun tak ada kegiatan selain hanya nonton televisi belaka.
KEEMPAT, Tetap jaga dan bantu kegiatan istri dalam berdakwah. Bagaimanapun suami adalah pemimpin dalam keluarga. Bila dirasa ada kegiatan dakwah yang menelantarkan kewajiban di rumah, membuat istri jadi memprioritaskan agenda di luar rumah ketimbang keluarga, sudah semestinya suami mengingatkan. Membiarkan istri menelantarkan kewajiban pada suami dan anak-anak adalah dosa. Bantu istri untuk menata prioritas amal.
Amal sebagai ibu dan pengatur rumah tangga tetap nomor satu, dakwah bisa berjalan bersama dengannya. Adakalanya muslimah kecanduan dengan kegiatan di luar rumah, bahkan seolah dakwah jadi ‘karir terselubung’, hingga akhirnya merusak keharmonisan rumah tangga. Anak-anak tak terjaga keimanannya dan akhlaknya, bahkan akhirnya membenci dakwah ibunya. Sedangkan suami kesal karena istri menjadi membangkang akibat merasa statusnya sudah tinggi karena dibutuhkan umat. Andai suami membiarkan hal ini terjadi maka ia berdosa. Dan muslimah yang tak cepat menyadari bahaya ini, ia akan terperosok dalam kemungkaran. Wal iyyadzu billah