Umroh.com – Mengenai kewajiban berpuasa, selama bulan Ramadan ibu hamil dan menyusui mendapat keringanan untuk meninggalkan puasa dan menggantinya di hari lain di luar bulan Ramadan. Keringanan ini didasarkan pada kondisi kesehatan ibu dan bayi. Jika puasa dikhawatirkan membahayakan kesehatan ibu dan bayi, maka ibu hamil dan menyusui boleh meninggalkan puasa. Dalam membayar utang puasa bagi ibu menyusui juga terdapat beberapa cara yang sudah ditetapkan oleh para ulama dan bersumber dari hadits terdahulu.
Dalam surat Al-Baqarah ayat 184 dijelaskan, “Maka jika di antara dirimu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika dirimu mengetahui.”
Baca juga : Seperti Ini Adab Berpakaian Dalam Islam
Membayar Utang Puasa Bagi Ibu Menyusui
Kondisi fisik seorang wanita dalam menghadapi kehamilan dan saat-saat menyusui memang berbeda-beda. Namun, pada dasarnya, kalori yang dibutuhkan untuk memberi asupan bagi sang buah hati adalah sama, yaitu sekitar 2200-2300 kalori perhari untuk ibu hamil dan 2200-2600 kalori perhari untuk ibu menyusui. Kondisi inilah yang menimbulkan konsekuensi yang berbeda bagi para ibu dalam menghadapi saat-saat puasa di bulan Ramadhan.
Ada yang merasa tidak bermasalah dengan keadaan fisik dirinya dan sang bayi sehingga dapat menjalani puasa dengan tenang. Ada pula para ibu yang memiliki kondisi fisik yang lemah yang mengkhawatirkan keadaan dirinya jika harus terus berpuasa di bulan Ramadhan begitu pula para ibu yang memiliki buah hati yang lemah kondisi fisiknya dan masih sangat tergantung asupan makanannya dari sang ibu melalui air susu sang ibu.
Berikut ini konsekuensi alasan ibu menyusui tidak melaksanakan, diantaranya:
1. Mengkhawatirkan Keadaan Dirinya Saja Bila Berpuasa
Bagi ibu, untuk keadaan ini maka wajib untuk mengqadha (tanpa fidyah) di hari yang lain ketika telah sanggup berpuasa. Keadaan ini disamakan dengan orang yang sedang sakit dan mengkhawatirkan keadaan dirinya. Sebagaimana dalam ayat,
“Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah : 184)
Berkaitan dengan masalah ini, Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Kami tidak mengetahui ada perselisihan di antara ahli ilmu dalam masalah ini, karena keduanya seperti orang sakit yang takut akan kesehatan dirinya.” (al-Mughni: 4/394)
2. Mengkhawatirkan Keadaan Dirinya dan Buah Hati Bila Berpuasa
Sebagaimana keadaan pertama, sang ibu dalam keadaan ini wajib mengqadha (saja) sebanyak hari-hari puasa yang ditinggalkan ketika sang ibu telah sanggup melaksanakannya.
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Para sahabat kami (ulama Syafi’iyah) mengatakan, ‘Orang yang hamil dan menyusui, apabila keduanya khawatir dengan puasanya dapat membahayakan dirinya, maka dia berbuka dan mengqadha. Tidak ada fidyah karena dia seperti orang yang sakit dan semua ini tidak ada perselisihan (di antara Syafi’iyyah). Apabila orang yang hamil dan menyusui khawatir dengan puasanya akan membahayakan dirinya dan anaknya, maka sedemikian pula (hendaklah) dia berbuka dan mengqadha, tanpa ada perselisihan (di antara Syafi’iyyah).’” (al-Majmu’: 6/177, di-nukil dari majalah Al Furqon)
3. Mengkhawatirkan Keadaan si Buah Hati saja
Dalam keadaan ini, sebenarnya sang ibu mampu untuk berpuasa. Oleh karena itulah, kekhawatiran bahwa jika sang ibu berpuasa akan membahayakan si buah hati bukan berdasarkan perkiraan yang lemah, namun telah ada dugaan kuat akan membahayakan atau telah terbukti berdasarkan percobaan bahwa puasa sang ibu akan membahayakan. Patokan lainnya bisa berdasarkan diagnosa dokter terpercaya – bahwa puasa bisa membahayakan anaknya seperti kurang akal atau sakit -. (Al Furqon, edisi 1 tahun 8)
Untuk kondisi ketiga ini, ulama berbeda pendapat tentang proses pembayaran puasa sang ibu. Berikut sedikit paparan tentang perbedaan pendapat tersebut.
Pendapat pertama, ulama yang mengatakan hanya perlu mengqadha Saja tanpa fidyah mengqiyaskan hukumnya kepada orang sakit. Sebab, kondisi wanita hamil dan menyusui yang lemah mirip sekali dengan orang yang sakit. Sedangkan qadha bagi orang yang sakit adalah mengganti puasanya di hari lain di luar Ramadhan.
Ulama yang memakai pendapat ini adalah mazhab Hanafi dari Abu Hanifah, Abu Ubaid, dan Abu Tsaur. Para ulama ini berdalil dengan firman Allah SWT,
“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka, jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS Al-Baqarah : 184).
Umroh hemat bersama Umroh.com. Kunjungi sekarang juga!
[xyz-ihs snippet="Iframe-Package"]
Pendapat kedua, mengatakan qadha bagi wanita hamil dan menyusui hanya fidyah saja. Pendapat ini dipakai di kalangan ulama seperti; Ibnu Umar dan Ibnu Abbas. Mereka mengqiyaskan kondisi wanita hamil dan menyusui dengan orang-orang yang lanjut usia, atau kalangan mereka yang tidak sanggup melaksanakan puasa.
Ulama ini berdalil dengan firman Allah SWT, “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fid-yah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. (QS al-Baqarah [2]: 184).
Dalam Bidayatul Mujtahid (jilid 1/ hal 63) disebutkan, kondisi ibu hamil atau orang yang menyusui lebih dekat qiyasnya kepada orang lanjut usia. Jika mereka tidak berpuasa di bulan Ramadhan sebab mengkhawatirkan kondisi dirinya ataupun bayinya, maka harus membayar Fidyah tanpa perlu mengqadha.
Sedangkan pendapat ketiga, wanita hamil dan menyusui yang meninggalkan puasa Ramadhan wajib mengqadha sekaligus membayar fidyah. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Menurut dia, kondisi wanita hamil dan menyusui serupa dengan orang sakit dan juga orang yang terbebani dalam melakukan puasa. Jadi, Imam Syafi’i menggabungkan dua pendapat di atas.
Apabila mereka tidak berpuasa di bulan Ramadhan, maka mereka harus membayar qadha dan fidyah juga. Pendapat ini menggabungkan dua dalil dari ayat yang disebutkan diatas.
Dalam Fiqhus Sunnah (jilid I/hal 508) disebutkan, jika alasan meninggalkan puasa bagi ibu hamil karena khawatir dengan kondisi bayinya, maka ia wajib qadha dan fidyah sekaligus. Namun, jika alasannya tak berpuasa hanya karena mengkhawatirkan dirinya saja, atau dirinya dan bayinya, maka ia hanya perlu mengqadha puasa saja tanpa membayar fidyah.
Sedangkan mazhab Maliki punya pendapat lain. Menurutnya, bagi wanita hamil cukup mengqadha saja. Sedangkan bagi wanita yang menyusui harus mengqadha dan membayar fidyah. Mereka berpendapat, kondisi wanita hamil dan menyusui berbeda. Jadi mereka juga dibedakan dari segi hukumnya.
Lantas, manakah pendapat yang paling kuat? Ulama Indonesia banyak yang mengambil pendapat ketiga sebagai langkah ihtiyath (kehati-hatian).
Bagi mereka yang punya kelapangan waktu dan harta tentu lebih baik bagi mereka untuk menjalankan pendapat yang ketiga. Di-samping membayarkan fidyah untuk membantu fakir miskin, mereka bisa pula berpuasa dalam rangka taqarrub kepada Allah SWT.
Takaran Membayar Fidyah
Umroh.com merangkum, fidyah berasal dari bahasa Arab ‘faada’ yang artinya tebusan atau menebus. Secara istilah, fidyah di-definisikan sebagai sejumlah benda atau makanan yang diberikan kepada fakir miskin dengan takaran tertentu untuk mengganti amal ibadah yang ditinggalkan. Misalnya saja puasa. Fidyah bisa berupa beras, nasi, gandum, atau sejenisnya. Besarnya fidyah yang dibayarkan bergantung pada jumlah hari puasa yang ditinggalkan. Dimana dalam sehari terdapat 1 takar fidyah untuk 1 orang miskin merupakan salah satu cara membayar utang puasa ibu menyusui.
Punya rencana untuk berangkat umroh bersama keluarga? Yuk wujudkan rencana Anda cuma di umroh.com!
Nah, berikut ini penjelasan tentang takaran fidyah menurut para ulama:
- Menurut Imam Malik, Imam As-Syafi’i: Fidyah yang harus dibayarkan sebesar 1 mud gandum (kira-kira 6 ons=675 gram=0,75 kg atau seukuran telapak tangan yang di tengadahkan saat berdoa.
- Ulama Hanafiyah: Fidyah yang harus dikeluarkan sebesar 2 mud atau setara 1/2 sha’ gandum. (Jika 1 sha’ setara 4 mud= sekitar 3 kg. Maka ½ sha’ berarti sekitar 1,5 kg). Aturan kedua ini biasanya digunakan untuk orang yang membayar fidyah beras.