Pertama-tama perlu dipahami bahwa ada perbedaan pendapat (khilafiyah) di beberapa kalangan ulama mengenai hukum untuk berobat (at-tadaawi/al-mudaawah) dengan menggunakan suatu zat yang bersifat najis dan juga haram, atau pun menggunakan benda dan materi yang sekedar haram untuk dikonsumsi tapu zatnya tidak bersifat najis. Termasuk contoh di dalamnya dalam hal ini adalah seperti kasus seseorang yang berobat dengan mengguanakan air kencing manusia atau mengkonsumsi obat yang mengandung alkohol (etanol), sebab zat-zat tersebut adalah zat yang bersifat haram dan najis. Dan yang perlu ditekankan disini adalah sesuatu yang bersifat najis sudah pasti haram untuk dikonsumsi, namun sesuatu yang haram untuk dikonsumsi tidak selamanya juga pasti bersifat najis.
Mengenai hukum berobat (at-tadaawi/al-mudaawah) dengan zat yang bersifat najis dan haram, ada ulama yang mengharamkannya, seperti Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Namun ada ulama yang membolehkan seperti ulama Hanafiyah. Ada yang memperbolehkan untuk menggunakannya dalam keadaan darurat, seperti Yusuf Al-Qaradhawi. Ada pula yang memakruhkannya, seperti pendapat yang disampaikan dari beberapa ulama. Pendapat yang rajih (kuat) menurut pemahaman kami, adalah yang memakruhkannya.
Terdapat dua kelompok hadis yang nampak bertentangan (ta’arudh) dalam masalah ini. Di satu sisi, ada hadis-hadis yang melarang berobat dengan benda yang haram dan najis, misalnya hadis Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat bagimu pada apa-apa yang diharamkan Allah atasmu.” (HR. Bukhari dan Baihaqi). Rasulullah SAW bersabda pula, “Sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala menurunkan penyakit dan obat, dan menjadikan setiap penyakit ada obatnya. Hendaklah kalian berobat, dan janganlah kalian berobat dengan sesuatu yang haram.” (HR Abu Dawud).
Di sisi lain, ada hadis-hadis yang memperbolehkan seseorang untuk berobat dengan menggunakan suatu benda atau materi yang zatnya bersifat najis dan haram. Misalnya saja sebuah hadits yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad memperbolehkan suatu suku yang bernama ‘Ukl dan ‘Uraynah untuk berobat dengan cara meminum air kencing unta (HR. Muslim) (Lihat Imam Al-Wahidi, Asbabun Nuzul, hamisy [catatan pinggir] kitab Tafsir wa Bayan Kalimat Al-Qur`an, karya Syaikh Hasanain M. Makhluf, hal 168). Hadist ini menunjukkan bahwa seseorang diperbolehkan untuk berobat dengan menggunakan suatu benda atau materi yang zatnya bersifat najis, sebab air kencing unta itu najis.
Dalam hadits lain dari Anas radhiallahu’anhu Rasulullah SAW memberi keringanan atau rukhsah kepada Zubair bin Al-‘Awwam dan Abdurrahman bin Auf dengan mengizinkan mereka untuk memakai kain sutera karena menderita penyakit gatal-gatal. (HR. Bukhari dan Muslim) (Lihat Imam Nawawi, Terjemah Riyadhus Shalihin, I/623). Hadis ini memperbolehkan seseorang berobat dengan menggunakan benda yang haram (dimanfaatkan), sebab sutera haram dipakai oleh laki-laki, sebagaimana diriwayatkan dalam hadis lain dalam riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi.
Di sinilah kemudian ada juga ulama yang mengkompromikan atau men-jama’ kedua kelompok hadits di atas. Menurut pendapat beberapa ulama, sabda Nabi Muhammad yang menunjukkan untuk tidak berobat dengan suatu benda atau materi yang zatnya bersifat haram dan najis, tidak berarti otomatis juga menunjukkan keharaman, tapi bisa saja sekedar untuk menunjukkan tuntutan atau thalab agar kita meninggalkan perbuatannya. Sedangkan dua hadis di atas yang memperbolehkan berobat dengan benda najis dan haram, oleh beberapa ulama dijadikan qarinah (petunjuk) yang memperjelas sifat tuntutan tersebut. Kesimpulannya, tuntutan tersebut adalah tuntutan (thalab) yang tidak tegas (ghairu jazim), sehingga hukum syara’ yang diistinbath adalah makruh, bukan haram.
Dengan demikian, darisini dapat kita simpulkan jika berobat dengan suatu materi atau benda yang zatnya bersifat najis, atau menggunakan benda dan materi yang haram untuk dimanfaatkan tapi zatnya tidak bersifat najis, hukumnya adalah tidak haram melainkan sekedar makruh. Jadi, berobat dengan menggunakan air kencing manusia atau pun benda-benda dan materi lainnya baik yang bersifat najis atau pun sekedar haram untuk dikonsumsi tapi tidak najis hukumnya adalah makruh, tetapi tidak haram. Wallahu a’lam.[]