Anak di mata seorang ibu adalah suatu belahan jiwa dan juga buah hati, dimana tidak ada sesuatu yang lebih berarti, tidak ada pula sesuatu yang lebih bernilai dalam kehidupan seorang ibu melebihi anak. Karena itulah seorang ibu sampai rela kehilangan apa saja yang telah dia miliki, bersedia mengorbankan apa saja yang mungkin dikorbankan demi seorang anak. Seandainya saja ibu diminta untuk memilih menjadi wanita termiskin di dunia dengan anak di sisinya atau menjadi wanita terkaya dengan anak yang diambil oleh yang Mahakuasa, niscaya seorang ibu pastinya juga akan memilih yang pertama. Mengapa demikian? Karena anak adalah kebahagiaan bagi seorang ibu. Perginya anak adalah duka mendalam bagi ibu, lebih-lebih anak yang masih kecil.
Tidak mengherankan karena untuk bisa menghadirkan anak ke dunia ibu harus menjalani empat penderitaan besar yang tidak bisa dia bagi kepada orang lain sekalipun dia adalah orang yang paling dekat kepadanya, suaminya. Mengandung selama sembilan bulan dalam keadaan wahnan ala wahnin, kelemahan di atas kelemahan, kelemahan seorang wanita ditambah dengan kelemahan kehamilan. Selama sembilan bulan dia membawa ke mana pun dan di mana pun. Selama itu keberadaan anak ini benar-benar membatasi segala aktifitasnya. Namun ibu menjalaninya dengan hati yang lapang dan jiwa yang tersenyum, justru di sanalah kebahagian terpancar.
Setelah melewati masa sembilan bulan, tibalah saatnya masa untuk melahirkan, dimana melahirkan sendiri adalah sebuah proses yang begitu berat dan juga menyakitkan bagi seorang ibu karena nyawa sebagai taruhannya. Maka dari itulah, sebagai wujud apresiasi dan juga penghargaan kepada para ibu yang melahirkan, Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam telah memberikan gelar syahadah (wafat dengan pahala sebagai syahid) kepada siapa saja wanita yang wafat dalam masa melahirkan ini. Selesai melahirkan, tugas dan beban baru yang tidak bisa dikatakan ringan langsung tersemat di pundak ibu. Dia harus memberi makan kepada anaknya melalui ASI selama dua tahun yang disambung dengan makanan lainnya plus mengasuh dan merawatnya.
Maka lumrah jika Allah mengambil buah hati darinya, dia akan bersedih dengan kesedihan yang sangat mendalam, lebih-lebih jika yang diambil oleh Allah tidak seorang melainkan dua orang dan dua orang ini masih berusia anak-anak, dalam masa ini keterkaitan hati ibu kepadanya masih sangat kuat, jalinan emosi antara anak dengan ibu masih sangat melekat erat, lalu tiba-tiba anaknya pergi dengan kehendak Ilahi Rabbi, bisa dibayangkan bagaimana sedihnya hati ibu. Di sini Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam menghibur ibu yang mengalami ujian berat ini dengan menjanjikan perlindungan dan keterjagaan dari api neraka. Terjaga dan terlindungi dari api neraka berarti sebaliknya, meraih surga, sebab hanya dengan ini perlindungan dari api neraka terwujud.
Ada tambahan satu syarat lagi, syarat ini bersifat mendasar, ia merupakan syarat umum yaitu sabar. Mengapa? Sebab wafatnya anak adalah sebuah musibah bagi kedua orang tuanya khususnya ibu dan sebuah musibah akan berakibat baik, di dunia dan di akhirat, jika ia disikapi dan dihadapi dengan sabar. Berbeda perkaranya jika seorang ibu ditinggal wafat anaknya, sekalipun dua atau lebih, lalu dia meratap, berteriak histeris, meraung-raung, memukul pipi, merobek baju dan menyerukan seruan-seruan jahiliyah, ibu sepertinya ini menurut hemat penulis tidak meraih janji yang diucapkan oleh Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam di dalam hadits. Wallahu a’lam.