Malcolm X adalah pendakwah muslim legendaris di Amerika Serikat. Seorang tokoh Afrika-Amerika yang dikenal dengan nama El-Hajj Malik El-Shabazz, yang gigih berjuang untuk hak-hak kaum kulit hitam.
Lahir dalam kemiskinan dan ketidakjelasan pada 19 Mei 1925, di Omaha, Nebraska, Malcolm kecil, anak keempat dari pasangan Earl dan Louise Little, bangkit untuk menjadi salah satu pemimpin Nasionalis Hitam paling dinamis di masanya. Dia merasakan sengatan rasisme dan ditolak kesempatannya pada tahun-tahun awalnya, dari sebagian besar, jika tidak semua, dari lembaga yang ada saat itu. Tanpa kemungkinan, harapan, mobilitas ke atas, dengan level pendidikan yang kurang dari kelas sembilan, kehidupan kejahatan praktis tak terelakkan bagi Malcolm muda.
Baca juga: Mengenal Sosok Dokter yang Menjadi Contoh Teladan Umat Muslim
Umroh.com merangkum, Malcolm dan saudara-saudaranya diajarkan untuk tidak pernah merasa rendah diri dengan identitas rasialnya. Keluarganya terpaksa berpindah-pindah tempat tinggal lantaran sering diganggu kelompok-kelompok superioritas kulit putih, terutama Klu Klux Klan (KKK) dan Black Legion.
Pada 1929, rumahnya sempat dibakar grup yang tersebut belakangan itu. Itu bukan kabar buruk terakhir dalam masa kecil Malcolm.
Kematian Ayah Malcolm
Duka berikutnya, ayahnya, Earl Little tewas dalam sebuah kecelakaan yang diduga merupakan skenario Black Legion. Ketika itu, Malcolm masih berusia enam tahun. Kehidupan keluarga Little pun semakin susah. Untuk menafkahi anak-anaknya, Louise bekerja ekstra keras dari pagi sampai malam.
Sayangnya, pada 1938 ibunda Malcolm ini mengalami depresi berat. Malcolm dan saudara-saudaranya bahkan sempat diungsikan ke panti asuhan, sementara Louise masuk rumah sakit bertahun-tahun lamanya.
Baca juga: Sudahkah Anda Sholat Hari Ini? Yuk Cek Jadwal Sholat Lengkap di Sini
Pada tahun 1946, pada usia 20, ia dijebloskan ke penjara karena membobol masuk sejumlah gedung dan mencuri. Di penjara, Malcolm X menjadi anggota Nation of Islam dan setelah pembebasan bersyaratnya pada tahun 1952, ia dengan cepat naik menjadi salah satu pemimpin organisasi tersebut. Dia dikenal dengan doktrin-doktrin keras. Pemisahan kulit hitam dengan putih. Maklum, kala itu politik di AS memang tengah hangat soal ras.
Pidato-pidatonya memiliki efek yang kuat pada pendengar, umumnya mereka yang tingal di kota-kota bagian utara dan barat Amerika. Mereka adalah golongan kulit hitam yang sudah lelah menunggu kebebasan, keadilan, kesetaraan, dan rasa hormat dari orang kulit putih.
Pada era 1950-an itu, komentar-komentar tentang isu saat itu banyak dimuat media cetak, radio, dan televisi. Malcolm X telah banyak dianggap sebagai pemimpin yang paling berpengaruh kedua di Nation of Islam setelah Elijah Muhammad.
Pertemuan Fidel Castro dengan Malcolm X
Saking berpengaruhnya, pemimpin dunia sekaliber Fidel Castro ngebet ingin ketemu. Presiden Cuba itu bertandang ke New York untuk menghadiri Majelis Umum PBB pada 1960. Dia mengajak Malcolm untuk bertemu empat mata. Pada akhir pertemuan dua jam itu, Castro mengundang Malcolm X untuk mengunjungi Kuba.
Selama sesi Majelis Umum itu pula, Malcolm diundang oleh beberapa pemimpin negara Afrika. Gamal Abdel Nasser dari Mesir, Ahmed Sekou Toure dari Guinea, serta Kenneth Kaunda dari Kongres Nasional Afrika Zambia, menjadi pemimpin yang dia temui.
Baca juga: Ajak Keluarga Anda untuk Pergi Umroh Bersama, Begini Cara Mudahnya
Pada April 1964, Malcolm berangkat haji ke Tanah Suci. Saat berhaji itulah dia melihat persamaan berbagai ras. Semua warna kulit, dari rambut pirang hingga legam, serta mata cokelat sampai biru, semua sama di hadapan Tuhan. Inilah pengalaman yang membawa dia untuk melihat Islam sebagai sarana untuk mengatasi masalah rasial.
Malcolm X telah mengunjungi Republik Arab Bersatu, Sudan, Nigeria, dan Ghana pada tahun 1959 untuk mengatur kunjungan Elijah Muhammad. Setelah Mekah, dia mengunjungi Afrika untuk kedua kalinya, kembali ke Amerika Serikat pada akhir Mei, kemudian terbang ke Afrika lagi pada bulan Juli. Selama kunjungan dia bertemu para pejabat, memberikan wawancara, dan berbicara di televisi dan radio di Mesir, Ethiopia, Tanganyika, Nigeria, Ghana, Guinea, Sudan, Senegal, Liberia, Aljazair, dan Maroko. Di Kairo, ia menghadiri pertemuan kedua dari Organisasi Persatuan Afrika sebagai wakil dari Organisasi Persatuan Afro-Amerika.
Kwame Nkrumah dari Ghana, Gamal Abdel Nasser dari Mesir dan Ahmed Ben Bella dari Aljazair mengundang Malcolm X untuk bekerja dalam pemerintahan mereka. Setelah pidato di University of Ibadan, Asosiasi Mahasiswa Muslim Nigeria menganugerahinya gelar kehormatan dalam bahasa Yoruba, Omowale, yang berarti “anak yang telah pulang ke rumah”; ia kemudian menyebut nama itu sebagai kehormatan yang paling berharga yang pernah ia dapatkan. Pada saat ia kembali ke Amerika Serikat pada bulan November, Malcolm X telah bertemu dengan setiap pemimpin negara-negara utama Afrika.
Lebih duabelas tahun bergabung, Malcolm memutuskan keluar dari Nation of Islam. Pengumuman itu dia buat 8 Maret 1964. Dia beralasan, kala itu Nation of Islam terlalu kaku. Namun kala itu merebak rumor Malcolm keluar setelah bersitegang dengan Elijah Muhammad.
Baca juga: Mengenal Lubna, Sosok Wanita Muslim dari Spanyol
Kematian Malcolm X
Setelah perjalanannya mengunjungi negara-negara di Afrika dan Timur Tengah, ia kembali ke Amerika Serikat, di mana ia mendirikan Muslim Mosque, Inc. dan Organisasi Persatuan Afro-Amerika. Pada bulan Februari 1965, kurang dari setahun setelah meninggalkan Nation of Islam, dia dibunuh oleh tiga orang anggota kelompok tersebut.
Kisah Malcolm X berakhir tragis. Dia tewas dibunuh pada 21 Februari 1965. Kala itu, dia bersiap untuk berbicara pada sebuah acara Organisasi Persatuan Afrika-Amerika di Audubon Ballroom, Manhattan. Namun terjadi keributan di antara 400 orang penonton. Saat itulah dia ditembak hingga tewas.