1
News

Menengok Jember yang Pernah Menjadi Kota Santri (Part 1)

Google+ Pinterest LinkedIn Tumblr
Advertisements
webinar umroh.com

Suasana di kota santri
Asik senangkan hati
Suasana di kota santri
Asik senangkan hati

Tiap pagi dan sore hari
Muda mudi berbusana rapi
Menyandang kitab suci
Hilir mudik silih berganti
Pulang pergi mengaji

Mendengar lagu lama ini, akan memunculkan visualisasi ademnya kota santri. Masjid yang makmur (ramai dengan aktivitas ibadah), muda-mudi berpakaian syar’i, rajin mengkaji Islam. Alquran terbiasa dibaca bahkan meski di tempat umum. Pesantren dengan ulama dan santrinya mampu membina masyrakat agar faham dan taat pada dien yang sempurna ini.

Kota santri, julukan itu pernah disandang Jember tercinta. Beberapa tahun lalu sebelum perhelatan karnaval -yang konon berskala dunia- menjadi icon baru kota ini. Betapa tidak, jumlah pesantren di Jember sangat banyak. Menurut data Kementerian Agama, pada 2013 saja terdapat 367 pesantren yang terdaftar dengan jumlah santri mencapai hampir 40 ribu orang. Data tersebut minus sekitar ratusan pesantren Salaf yang tak mendaftarkan diri ke kemenag. Madrasah Diniyah berjumlah 2000 lebih dengan total santri lebih dari 103 ribu. Jika kita berjalan ke pelosok kabupaten Jember, akan banyak ditemui plang-plang di depan jalan kecil atau gang yang menandakan adanya pesantren disana.

Para ulama juga masih dijadikan panutan di Jember. Tak sedikit dari mereka yang duduk di jajaran birokrasi. Di kota ini, juga terdapat beberapa kampus Islam yang diantaranya dikelola langsung oleh pihak pesantren, seperti As-Sunniyah kencong.

Selepas mengenyam berbagai tsaqafah Islam di pondok, kader pesantren biasanya akan menjadi da’i di daerahnya. Jika tak mendirikan pesantren, minimal mereka mendirikan madrasah, TPQ (Taman Pendidikan Alquran) atau majlis taklim. Bila dalam setahun, pesantren mewisuda ribuan santri, berapa besar potensi Sumber Daya Manusia penyebar Islam di Jember?

/Potensi Kota Santri/

Sejatinya potensi besar ini menjadi asset bagi bangsa, umat dan agama. Potensi SDM penolong agama Allah untuk menegakkan Islam di bumi nusantara. Sebagaimana peran pesantren di masa pra kemerdekaan dahulu.

webinar umroh.com

Dengan dipimpin ulama, perjuangan mereka berfokus pada dua hal ; pertama, mengusir kafir penjajah dari nusantara, tanah milik kaum muslimin. Yang merupakan tanah usyriyah yang tunduk pada khilafah Ustmani.

Dalam buku Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII&XVIII, (2005), Azyumardi Azra mengungkap sejumlah contoh perjuangan para ulama dalam melawan penjajah. Sebutlah contoh Syekh Yusuf al-Maqassari (1627-1629M). Ulama terkenal ini bukan hanya mengajar dan menulis kitab-kitab keagamaan, tetapi juga memimpin pasukan melawan penjajah.

Tahun 1683, setelah tertangkapnya Sultan Ageng Tirtayasa, Syekh Yusuf Maqassari memimpin sekitar 4.000 pasukan di hampir seluruh wilayah Jawa Barat.

Pada tahun 1825 hingga 1830, Pangeran Diponegoro memimpin Perang Diponegoro yang disertai para para ulama-santri dari berbagai penjuru Jawa. Bahkan pasca ditangkapnya Diponegoro, lebih dari 130 pertempuran dilakukan kalangan pesantren untuk mengusir penjajah Belanda.

8 Desember 1944, para santri berjuang untuk mengusir penjajah kafir Belanda dan mempertahankan kemerdekaan dengan bergabung bersama Laskar Hizbullah. Dalam rapat pleno Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada Januari 1945, diputuskan pimpinan pusat dari Barisan Hizbullah adalah KH Zainul Arifin.

Kedua, kembali menegakkan syariat Islam pasca runtuhnya Khilafah Utsmani dan dijajahnya bumi nusantara oleh Belanda.

Perjuangan yang dilakukan ulama dan pesantren buka sekedar mengusir penjajah Belanda dari bumi nusantara. Lebih dari itu, harta dan jiwa yang mereka korbankan adalah demi terbentuknya Negara Islam di nusantara. Disampaikan oleh Soepomo dalam pidatonya pada 31 Mei 1945: “Memang di sini terdapat dua paham, ialah paham dari anggota-anggota ahli agama yang menganjurkan Indonesia didirikan sebagai negara Islam; dan anjuran lain sebagai telah dianjurkan oleh Mohammad Hatta ialah negara persatuan nasional yang memisahkan urusan negara dengan urusan Islam. Dengan perkataan lain: bukan negara Islam.” (Lihat askah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, I/115 karya Yamin)

(bersambung ke part 2)