1
News

Menengok Jember yang Pernah Menjadi Kota Santri (Part 2)

Google+ Pinterest LinkedIn Tumblr
Advertisements
webinar umroh.com

Jauh sebelum kemerdekan Indonesia dirumuskan, ulama dan kaum pesantren mengangkat senjata adalah untuk menegakkan Negara Islam. Beberapa kesultanan di nusantara seperti Aceh, Demak, dll telah tunduk kepada kekhilafahan Turki Utsmani, atau yang sering dikenal dengan Ottoman.

Namun pasca keruntuhan Utsmani dan menjelang kemerdekaan Indonesia, bermunculan tokoh dari kaum nasionalis sekuler dan komunis tak sepakat. Sehingga dibentuklah Panitia Sembilan sebagai kompromi dari perbedaan pendapat antara kubu Islam yang diwakili ulama, dan kubu nasionasil sekuler, sebagaimana petikan pidato dr. Soepomo di atas.

Panitia Sembilan yang terdiri dari Ir. Soekarno (ketua), Drs. Mohammad Hatta (wakil ketua), Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo , Mr. Prof. Mohammad Yamin, S.H., KH Abdul Wahid Hasjim, Abdoel Kahar Moezakir, Raden Abikusno Tjokrosoejoso, Haji Agus Salim, dan Mr. Alexander Andries Maramis (anggota) kemudian merumuskan Piagam Jakarta. Rumusannya menyebutkan ‘kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’.

Dalam perjalanannya, Soekarno dan Hatta meminta kepada tokoh-tokoh Islam untuk diizinkan mengubah rumusan Piagam Jakarta menjadi rumusan Pancasila. Hingga akhirnya, dihilangkan tujuh kata diatas, dan dihapus pula pasal yang menyebutkan tentang syarat Presiden yang sebelumnya mengharuskan orang Islam.

Kembali berbicara potensi Jember sebagai kota santri, sejatinya kalangan pesantren meneladani dan meneruskkan perjuangan pendahulu kita. Banyaknya SDM pesantren baik dari kalangan ulama dan santri diarahkan untuk berjuang menerapkan Islam di bumi pertiwi. Karena saat ini umat Islam di Indonesia tidak diperangi secara fisik, maka tugas ‘kaum sarungan’ bukanlah berjihad dengan senjata. Namun mendakwahkan Islam. Tsaqafah Islam yang dipelajari di pesantren, menjadi senjata untuk mensolusi berbagai problem bangsa. Juga berjuang untuk menerapkan hudud, imamah dan berbagai syariat Islam, agar diterapkan secara formal oleh Negara. Sebagaimana dahulu, para ulama telah berjuang untuk menerapkannya. Sehingga dengan tegaknya hukum Allah di nusantara, akan menjadikan Indonesia diliputi keberkahan, sebagaimaan firman Allah

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Al-a’raf 96).

/Kembalikan Ikon Jember Sebagai Kota Santri/

Sayangnya sejak beberapa tahun lalu, ikon Jember berubah menjadi Kota Karnaval Dunia. Wajah Jember yang dulu relijius berubah drastis. Terutama di bulan Agustus yang dinobatkan sebagai Bulan Berkunjung ke Jember. Perhelatan Jember Fashion Carnaval justru menjadi ajang kemaksiatan. Jalanan tidaklah penuh dengan muda-mudi yang berbusana muslim dan menyandang kitab suci. Namun dipenuhi ajang buka-bukaan aurat sembari bertabarruj (berhias yang diahramkan). Event yang digelar sejak menjelang siang hingga menjelang petang juga menjadikan sebagian besar peserta karnaval, panitia hingga penonton terpaksa meninggalkan sholat. Ikhtilat atau campur baur dengan non mahram yang diharamkan tak bias dihindarkan.

webinar umroh.com

Efek jangka panjang pagi masayrakat Jember lebih parah lagi. Opini yang dibentuk berupa kebanggan terhadap ajang berbau maksiat tentu menggerus aqidah umat Islam, mayoritas penduduk Jember. Opini bahwa pariwisata akan menggenjot sector ekonomi dengan menafikan system ekonomi Islam juga merupakan pendapat tak Islami. Cita-cita untuk menjadikan Jember sebagai kota fashion dengan adanya ajang JFC semakin menjauhkan wajah Jember sebagai kota santri. Dan garis besar dari semua bahaya ini adalah liberalisasi pemikiran dan budaya. Budaya Islami yang dulunya lekat di tengah masyarakat berubah kebarat-baratan. Bahkan sudah jadi rahasia umum, budaya suka sesame jenis dan laki-laki feminine semakin merebak sejak ajang JFC. Pemikiran masyarakat yang dulunya masih keukeuh berpegang pada halal-haram tergerus. Berganti menganut faham liberal atau kebebasan, enggan diatur syariat. Peran Allah sebagai pembuat hukum dikerdilkan. Sedangkan budaya kebarat-baratan dan budaya daerah diagungkan.

Hal ini tentu akan mendatangkan murka Allah, zat pencipta manusia dan bumi seisinya. Saat ini bisa kita rasakan bagaimana berkurangnya keberkahan di kota kita tercinta. Kemiskinan yang masih tinggi, hingga kerusakan moral remaja yang semakin menjadi.

Jangan sampai kita mengulangi kesalahan kaum terdahulu yang binasa oleh adzab Allah. Seperti kaum Nabi Luth yang doyan homoseks. Mereka diguncang gempa bumi dahsyat disertai angin kencang dan hujan batu sehingga hancurlah rumah-rumah mereka. Hingga akhirnya tertimbun di bawah reruntuhan rumah mereka sendiri (QS Alsyu’araa: 160, Annaml: 54, Alhijr: 67, Alfurqan: 38, Qaf: 12).

Atau seperti kaum Tubba’ yang enggan beribadah kepada Allah walau sudah diperingatkan oleh Nabi Sulaiman, akhirnya Allah menghancurkan bendungan Ma’rib dengan banjir besar (Al-Arim) (QS Saba: 15-19).

Mari, kembalikan Jember sebagai kota santri yang Islami dan mencetak SDM pejuang Islam agar terwujud keberkahan di kota kecil ini dan menyebar ke seluruh pelosok negeri. Wallahu a’lam bis shawab.