Kita harus selalu yakin, bahwa ujian demi ujian itu adalah tanda cinta-Nya kepada kita.
Kisah Majnun dan Laila yang sama-sama dimabuk cinta menggambarkan itu. Orang Sufi sering menggunakannya sebagai tamsil. Majnun, yang dianggap gila itu, karena cintanya yang dalam kepada Laila, rela antri bersama orang lain dalam perjamuan. Jika yang lain antri sekedar untuk mendapatkan makanan, maka tidak dengan Majnun. Dia antri dengan sabar bukan karena makanan, tetapi karena ingin menemui dan melihat kekasihnya, Laila. Begitu mendapat giliran, Majnun pun mengulurkan piring di tangannya kepada Laila. Laila menatapnya dengan cinta, dan rindu ingin kembali bertemu dengannya. Namun, Laila tak memberinya makanan, justru memecahkan piringnya.
“Oh kasihan, Majnun” kata orang. Ada yang bilang, “Majnun, cintanya telah ditolak oleh Laila.” Namun, Majnun selalu berpikiran positif, husnuddhan kepada Laila. Meski Laila telah memecahkan piringnya, namun Majnun tidak marah. Justru dia senang dan berterima kasih, karena itu pertanda Laila, kekasihnya ingin Majnun kembali menemuinya. Majnun, yang dimabuk cinta kepada Laila, semakin kuat cintanya, karena dia tahu, bahwa cinta Laila kepadanya sangat luar biasa. Majnun pun antri kembali. Rela berdiri bukan untuk mendapatkan makanan, tetapi untuk menemui, melihat dan bermesraan dengan Laila.
Terkadang kita merasa sedih, saat kita bertaubat dan berusaha untuk taat, ujian datang bertubi-tubi. Hidup susah, ekonomi seret, kekurangan dan beragam lainnya. Dalam kondisi seperti itu, terkadang kita merasa ditinggalkan oleh Allah. Padahal, “perasaan” itu yang menghembuskan ke dalam benak kita adalah syaitan. Kalau kita ikuti, dan kita meninggalkan jalan ketaatan itu, maka Allah pun akan meninggalkan kita. Sebaliknya, ketika kita tidak menuruti perasaan itu, lalu kita tetap istiqamah, yakin dan selalu husnuddhan kepada-Nya, sebagaimana kisah Majnun kepada Laila, maka Allah pun akan membalas cinta hamba-Nya itu dengan nikmat yang luar biasa.
Begitulah, cinta kita kepada-Nya, dan cinta-Nya kepada kita. Cinta yang membawa “derita”, namun nikmat terasa. Sakit, pedih dan gundah pun tak terasa, karena kita sedang dimabuk cinta. Itulah “derita” cinta yang harus kita alami agar kita raih cinta kekasih abadi kita, Allah SWT.
Alangkah indah, ungkapan cinta al-Bushiri dalam bait Kasidah Burdah-nya:
💕Kenapa kedua matamu tetap menetaskan air mata? Padahal engkau telah berusaha membendungnya? Dan kenapa hatimu senantiasa gundah gulana? Padahal engkau telah menghiburnya?
💕Apakah orang yang dimabuk cinta menyangka bahwa api cinta dapat ditutupi nyalanya di antara tetesan air mata dan hati yang terbakar membara?
💕Andaikan tak ada cinta yang menggores kalbu… tak mungkin engkau mencucurkan air matamu… meratapi puing-puing kenangan masa lalu… berjaga mengenang pohon dan gunung yang kau rindu…
💕Bagaimana kau dapat mengingkari cinta… sedangkan saksi adil telah menyaksikannya berupa deraian air mata dan jatuh sakit amat sengsara…
💕 Duka nestapa telah membentuk dua garisnya… isak tangis dan sakit lemah tak berdaya bagai mawar kuning dan merah
yang melekat pada pipi dua…
💕Memang benar bayangan orang yang kucinta selalu hadir membangunkan tidurku untuk terjaga… dan memang cinta sebagai penghalang bagi si empunya… antara dirinya dan kelezatan cinta yang berakhir derita…
💕Wahai pencaci derita cinta udzrahku… kata maaf kusampaikan padamu… aku yakin andai kau rasakan derita cinta ini… tak mungkin engkau mencaci maki…
💕Keadaanku telah sampai padamu… tiada lagi rahasiaku yang tersimpan darimu… dari orang yang suka mengadu domba… dan derita cintaku tiada kunjung sirna…
💕Engkau begitu ikhlas memberi nasihat diriku… tetapi aku tak mampu mendengarkan saran itu… karena sesungguhnya orang yang dimabuk cinta… tuli dan tak menggubris cacian pencela…
“Semoga kita tetap istiqamah di Jalan-Nya, karena cinta. Karena sungguh cinta-Nya kepada kita lebih besar, ketimbang cinta kita kepada-Nya. Aamiin.”