(untuk bagian sebelumnya, bisa dilihat di link ini: https://www.umroh.com/blog/beginilah-cara-kita-semestinya-menyikapi-kekuasaan-menurut-islam-part-1/)
Demi kepentingan kekuasaan, apapun dilakukan. Tak ada lagi rasa malu dan sungkan. Tak ada lagi rasa bersalah dan takut dosa. Urusan halal-haram tak lagi menjadi ukuran. Urusan syariah tak lagi dipandang relevan.
.
Demikianlah kalau manusia sudah diharu-biru hawa nafsu. Diperdaya harta. Diperbudak syahwat kekuasaan. Semua itu berpangkal pada kecintaan manusia terhadap dunia. Padahal andai saja setiap diri sejenak mau berhitung: Berapa sih harga dunia? Asal tahu saja. Meski seluruh isi dunia kita miliki, itu tak ada nilainya di sisi Allah SWT.
.
Sabda Nabi saw., “Seandainya dunia ini sebanding harganya dengan sayap seekor lalat saja, niscaya Allah SWT tidak akan membiarkan seorang kafir pun untuk meminum air dari dunia ini barang seteguk pun.” (HR at-Tirmidzi dan Ibn Majah).
.
Baginda Nabi saw. pun bersabda, ”Dunia ini terkutuk dan terkutuk pula semua yang ada di dalamnya, kecuali mereka yang senantiasa mengingat Allah SWT…” (Ibn Majah dan ad-Darimi).
.
Sayang, Allah SWT tampaknya sudah tidak lagi mereka ingat, kecuali di dalam shalat. Para elit politik, termasuk para tokoh Islam, seolah tidak pernah belajar meneladani generasi salafush-shalih dulu, yang tidak pernah silau oleh gemerlap dunia, harta dan kekuasaan. Jangankan bermimpi untuk menjadi penguasa atau bernafsu mengejar kekuasaan. Bahkan ditawari jabatan pun sering tak mereka hiraukan.
.
Imam Syafii, misalnya, ketika dia ditawari suatu jabatan, ia justru malah menolaknya. Demikian pula sebelumnya, pada kasus Imam Abu Hanifah. Saat beliau ditawari untuk dapat menjadi hakim pada zaman Bani Umayah yang terakhir, beliau pun enggan menerima. Pada masa pemerintahan Abu Ja’far al-Manshur, saat beliau diminta kembali untuk menjadi hakim, beliau tetap menolak.
.
Semua itu mereka lakukan bukan karena kekuasaan itu sifatnya haram, tetapi semata-mata karena mereka khawatir akan Hari Pertanggungjawaban. Mereka sangat memahami sabda Nabi saw. saat Abu Dzar meminta amanah jabatan/kekuasaan. Saat itu Nabi saw. menolak sambil memberi nasihat:
«يَا أَبَا ذَرّ إِنَّك ضَعِيف، وَإِنَّهَا أَمَانَة، وَإِنَّهَا يَوْم الْقِيَامَة خِزْي وَنَدَامَة إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا»
“Abu Dzar, sungguh engkau lemah, sementara jabatan/kekuasaan itu adalah amanah serta bisa menjadi kerugian dan penyesalan pada Hari Kiamat; kecuali bagi orang yang mengambil amanah kekuasaan itu dengan benar dan menunaikan kewajibannya di dalamnya.” (HR Muslim).
.
Karena tak pernah berambisi atas kekuasaan, tidak aneh jika generasi salafush-shalih seperti Imam Abu Hanifah dan Imam Syafii adalah generasi yang tak pernah plin-plan. Mereka selalu istiqamah. Apalagi dalam menyatakan kebenaran dan menjalankan dakwah. Sebab, mereka memang tak pernah terbebani oleh kekhawatiran akan risiko hilang kesempatan meraih jabatan atau kekuasaan.
.
Mereka tidak sebagaimana para tokoh saat ini. Banyak yang bertindak mencla-mencle karena khawatir tidak kebagian kue kekuasan. Lalu, agar tidak terkesan mencla-mencle, mereka sibuk berdalih dan bersilat lidah. Mereka tak risih kalaupun harus menjilat ludah yang sudah tertumpah. Ironisnya, semua itu mereka lakukan hanya demi meraih dunia yang sangat murah!
Wa ma tawfiqi illa bilLah. []