Bagaimana jika kita ingin merencanakan untuk memberi nasihat secara rutin melalui media sosial?
Tentu hal itu bagus sekali! Memangnya apa yang salah dengan aktivitas tersebut? Semua orang memiliki hak yang sama untuk saling menasihati. Bukankah agama adalah nasihat seperti sabda Nabi?
Engkau tidak perlu menunggu sempurna untuk memulai, melainkan justru sesuatu tidak akan pernah sempurna jika tak kunjung dimulai.
Hanya saja, tunjukkanlah bahwa nasihat itu untuk dirimu sendiri, bukan untuk orang lain. Mengapa demikian? Dahulu ulama soleh berkata, “Jika kami menganggap nasihat kami yang telah memperbaiki orang lain, sungguh kami takut anggapan ini menyebabkan kami dibangkitkan bersama Fir’aun kelak.”
Maka belajarlah untuk dapat mengubah kalimatmu. Karena dasarnya tak ada orang yang suka dinasehati. Daripada memerintahkan orang untuk menahan marah, lebih baik engkau ceritakan ketika kau telah meluapkan marah yang meledak-ledak dan ternyata hal tersebut berbuah penyesalan.
Alih-alih kau melarang orang untuk berkata kasar di medsos, lebih baik engkau ceritakan bahwa dirimu juga masih belajar untuk memperbaiki ucapan dan tutur kata, karena engkau terpesona dengan orang-orang terpuji yang kau temui.
Dengan begini orang tidak merasa dinasehati, padahal tanpa disadari engkau telah menyampaikan sebuah nasehat. Jadi sekali lagi, jangan menggurui.
Satu-satunya sekolah di mana jumlah guru lebih banyak dari jumlah muridnya adalah di Facebook. Oleh karena itu jangan ditambah lagi dengan dirimu.
Ketika nasihat itu tertuju kepada diri kita sendiri, maka engkau tak akan gelisah dengan jumlah follower, berapa like yang kau dapat, atau komentar dari orang lain.
Hati-hatilah kecondongan kepada jumlah follower dengan mudah menghanguskan pahalamu semudah api yang menghanguskan kayu bakar.
Dikisahkan sekelompok murid sedang memuji majelis pengajian tertentu dan meremehkan majelis pengajian yang lain. Lalu guru mereka datang dan menegur perbuatan itu,
“Janganlah kalian memuji berlebihan majelis yang ramai jamaahnya, dan jangan pula meremehkan majelis yang sepi jamaahnya! Karena kita tak tahu mana yang lebih diridhai oleh Allah di antara keduanya.”
Nah, hendaknya kisah ini engkau renungkan, agar dirimu tak merasa risau. Sebab kita tidak tahu keridhaan Allah ada pada jumlah follower yang banyak atau yang sedikit.
Nabi Nuh tak pernah mengeluhkan jumlah umatnya yang ikut ke atas perahu. Nabi Musa juga tak pernah menghitung-hitung berapa banyak orang yang berjuang bersama dirinya ketika dikejar bala tentara Fir’aun. Lalu apa yang kau gundahkan?
Terakhir, hendaknya engkau senantiasa lapar akan ilmu. Jangan berhenti belajar. Sebab jika pengetahuan kita diam di tempat artinya kita sedang berjalan mundur.
Coba perhatikan saat engkau sedang di atas kereta api, kelihatannya pohon-pohon di pinggir jalan sedang berjalan mundur bukan? Padahal pohon tersebut hanya diam di tempat, efek seperti itu disebabkan kereta apinya saja yang sedang melaju cepat.
Begitulah jika kita diam, maka jadilah kita seperti pohon itu yang berjalan mundur, karena orang-orang selain kita justru sedang melaju cepat. Jadilah selalu muslim pembelajar, jangan diam.
Untuk yang gemar menulis, jangan lupa perkaya dirimu dengan teknik menulis yang berkualitas. Karena tulisanmu menunjukkan siapa dirimu.
Tetaplah semangat untuk menghidupkan media sosial di negeri kita sebagai media positif. Sebab jika orang-orang baik seperti dirimu tidak aktif di medsos, maka akan banyak orang kurang baik yang nanti meramaikannya.