Jika mau hitung-hitungan, kebanyakan ayah memiliki jam pertemuan dengan anak 3x lebih sedikit daripada ibu dalam kasus ayahnya bekerja dan ibunya hanya sebatas ibu rumah tangga biasa. Jadi normalnya ayah memang 3x lipat lebih sabar daripada ibu.
Karena itu, coba mulai sering kita pikirkan kepada para suami yang mengaku lebih sabar daripada istrinya:
Coba suami mengurus anak selama 7 hari berturut-turut, tanpa istri tanpa pembantu. Sendirian! Ingat ya sendirian. Cukup dari 07.00-18.00.
Apakah setelah itu, Anda merasa lebih sabar dari istri?
Apa yang akan terjadi, jika Anda lakukan selama 365 hari?
Apakah setelah itu, Anda merasa lebih sabar dari istri?
Cobalah gantikan peran istri Anda di rumah. Urus rumah dan anak tiap hari dari pagi. Selain rutinitas yang sama tiap hari menghadapi pemandangan yang sama: dapur, kasur, ketemu tukang sayur.
Apakah setelah itu, Anda merasa lebih sabar dari istri?
Jawaban masing-masing dari anda memang bisa berbeda. Tapi satu yang perlu anda tahu, ketika pernah hal ini ditanyakan kepada ribuan suami yang mengikuti suatu kelas-kelas pelatihan, mereka menjawab “oh tidaaaak!” Bahkan ada yang berkata “jangankan 7 hari, 1 hari aja mungkin sudah pusing!”
Terserah saja apa pun jawaban anda. Tapi satu hal lagi yang perlu anda tahu, pernah ketika puluhan ayah yang ada di Korea Selatan ditantang untuk dapat mengurus anak hanya kira-kira 2×24 jam tanpa istri, dalam sebuah acara “reality show” tv korea, hampir semua dari mereka merasakan kerepotan luar biasa yang membuat sebagian besar dari mereka wajib merasa berterima kasih kepada istrinya.
Tak sedikit bahkan, setelah tantangan ini selesai dilakukan, sebagian suami hampir sujud-sujud dan minta maaf sama istrinya. Karena mereka sudah merasakan: tidak mudahnya menjadi seorang ibu.
Namun hal ini tidak berarti juga jika laki-laki harus melakukan semuanya, tidak berarti juga suami istri harus bertukar peran, apalagi jika sampai melandaskan kebenaran dengan “reality show” Korea. Maksud dari isi postingan ini juga tidak mengatakan bahwa perempuan lebih tinggi derajatnya daripada laki-laki atau sebaliknya. Tulisan ini tidak bermaksud membandingkan siapa yang lebih tinggi derajat atau tidak.
Tujuan ditulisnya postingan ini hanya ingin mengajak laki-laki berempati, syukur jika belajar bersama dengan istrinya.
Jika tidak, setidaknya jangan menegasikan atau melemahkan semangat istrinya yang tengah berikhtiar belajar pengasuhan (parenting). Mungkin hasilnya tidak selalu persis seperti yang diharapkan. Tapi insya Allah ada perbedaan orang yang belajar dengan yang tidak.