1
News

Brenton Tarrant, Sosok Keji Pembantai Muslim New Zealand

Google+ Pinterest LinkedIn Tumblr
Advertisements
webinar umroh.com

“When I was young, I was a communist, then an anarchist, and finally a libertarian before coming to be an eco-fascist” (Brenton Torrant)

 

Rasa penasaran menjadikan postingan ini pada sebuah manifesto yang dibuat Brenton Torrant dua minggu sebelum melancarkan aksinya menghabisi 40 nyawa muslim di New Zealand (Selandia Baru). Brenton Torrant adalah sosok yang lahir dari keluarga kelas bawah Australia yang tidak mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Untuk mencari uang, awalnya Brenton bekerja sebagai pelatih gym hingga ia berinvestasi di bitcoin.

===

Bagaimana bisa ia berubah menjadi ekstremis pengusung supermasi kulit putih?

 

Pergaulan dan internet.

 

webinar umroh.com

Melihat beberapa gaya kalimatnya yang tidak baku, struktur kalimat yang terpenggal dan tidak utuh, menyodorkan argumentasi hanya dari wikipedia (bukan dari sumber ilmiah), penggunaan konjungsi yang tidak tepat (seperti penggunaan “but” di awal kalimat), preposisi yang tidak lazim bahkan kacau di beberapa kata, dan lain sebagainya, kita bisa merasakan bahwa manifesto ini bukan karya seorang akademisi atau pemikir.

 

Lebih tepatnya, ini hanyalah ‘curhatan’ seseorang yang terdoktrin oleh pemikiran penuh kebencian yang dibangun atas sentimen rasial yang terjebak pada delusinya sendiri.

 

Setidaknya, dari sini kita bisa mengetahui sudut pandang Brenton: mengapa ia begitu tega membantai puluhan nyawa tanpa ada setetes kemanusiaan yang tersisa. Dari sini, kita bisa tahu apa isi doktrin di kepalanya sehingga seorang warga negara kelas bawah sepertinya bisa berubah menjadi teroris bengis.

 

Brenton mengawali tulisannya dengan kekhawatirannya atas rendahnya laju kelahiran orang-orang Putih (Eropa). Ia mengutuk kegagalan Barat dalam menjaga tingkat kelahiran dan menyandingkannya dengan laju imigrasi bangsa non kulit putih yang ia khawatirkan akan menggeser supremasi kulit putih secara telak. Brenton menyebut fenomena ini sebagai “white genocides”.

 

Ia pun melihat bahwa penyelesaian demokratik tidak cukup ampuh menangani ‘krisis’ yang mengancam populasi kulit putih yang telah ia definisikan di awal tulisan. Untuk itu, ia mengambil tindakan kekerasan. Benih-benih kebencian itu begitu butuh untuk disalurkan.

 

Selain itu, ia berharap serangan fisik ini bisa menghadirkan tidak hanya ketakutan di tengah masyarakat tapi juga melahirkan diskursus baru mengenai urgensitas bangsa kulit putih mempertahankan tanah dan eksistensinya. Lebih jauh lagi, ia berharap serangannya memberikan goncangan, mempertajam polarisasi dan berpengaruh pada amandemen kebijakan AS mengenai rasialisme.

 

Pemikiran ekstrim Brenton ini tidak lahir begitu saja. Ia blak-blakan menguraikan aneka serangan yang menginspirasinya. Ia membaca sejarah invasi bangsa asing ke negeri Eropa. Warisan dendam pascainvasi negeri Balkan (tentu saja ini merujuk ke Turki Usmani) ke negeri Eropa tampaknya menetes dan kental mengalir di dalam dirinya. Itulah sebabnya ia membenci kaum imigran muslim, terlebih lagi, ia menyebutkan bagaimana imigran muslim ini begitu tinggi laju kelahirannya, kuat ikatan sosialnya dan memiliki kultur invasi yang mengancam hegemoni kulit putih.

 

Menurut pengakuannya, Brenton tidak membenci muslim yang tinggal di negeri muslim. Brenton membenci muslim yang menginvasi Barat. Muslim yang paling dibenci Brenton adalah bangsa Eropa yang masuk ke dalam Islam. Ia menganggap ini sebagai bentuk pengkhianatan atas warisan budaya leluhur kulit putih.

 

Ia juga mengaku tidak membenci keberagaman budaya lainnya selama orang-orang itu tinggal di negerinya sendiri. Namun yang ia benci adalah potensi tergesernya dominasi dan invasi bangsa non kulit putih di negeri Barat.