Melihat kejadian baru-baru ini yang memperlihatkan seorang ulama yang dijadikan sasaran objek untuk ngevlog dan selfie, rasanya dalam artikel ini perlu kita kupas mengenai adab terhadap ulama. Dalam konteks falsafah Priyayi, kamar pribadi Kiyai merupakan tempat peraduan, persemadian, dan peribadatan. Tempat bertafakur, bilik khalwat dengan sang pencipta, bilik dzikir dan pemujaan terhadap yang Esa, termasuk bilik berkasih mesra dengan pasangan hidup. Hal-hal yang tabu dilakukan di Ruang Publik, yang tak layak diketahui publik, menjadi layak dan dikhususkan di ruang ini.
Dalam konteks siapa yang hadir, yang punya kesempatan untuk boleh memasuki ruang privat itu, selain Bu Nyai, memang dimungkinkan ada -atas seijin sang Kiyai- yang pastinya orang orang tertentu yang memiliki maksud untuk mengutarakan atau mendapati informasi tentang hal-hal yang sangat esensial, dimana hal tersebut hanya untuk diketahui dan bukan untuk diceritakan. Sebagai tanda kedekatan, sang Kiyai biasanya akan mengajak pihak yang diperbolehkan itu ke kamar pribadinya.
Namun, jika hadirnya seseorang memasuki kamar pribadi sang Kiyai, bukan untuk mengutarakan atau untuk mendapati informasi hal-hal yang sangat esensial, dimana hal-hal esensial tersebut sejatinya hanya untuk diketahui bukan untuk diceritakan, maka ini aneh. Dapat dipastikan, masuknya seseorang ke kamar Kiyai bukan atas permintaan dan izin sang Kiyai, bahkan boleh jadi tidak dikehendaki sang Kiyai, namu adab sang Kiyai tidak memungkinkan dirinya untuk secara terbuka mengungkapkan ‘keengganan’ kepada seseorang yang lancang memasuki ruang privasinya.
Beredarnya video yang diunggah Mas Romi (Romahurrmuziy) ke ruang pribadi mbah Yai Maimun Zubair, dipastikan tidak atau bukan terkategori untuk mengutarakan atau sekedar mendapati informasi mengenai hal-hal tertentu yang sangat esensial, hanya untuk diketahui bukan untuk diceritakan, antara dirinya dan Mbah Yai Maimun Zubair. Kesimpulan ini muncul dari beberapa alasan :
*Pertama,* diskursus diruang privat (kamar pribadi) itu dilakukan untuk diviralkan, dengan sengaja divideokan, bertujuan untuk ‘mengklarifikasi’ doa mbah Yai yang dianggap keliru dan akan bermasalah bagi elektabilitas Jokowi.
*Kedua,* diskusi tadi tidak terjadi secara privat, karena ada sosok Jokowi diantara Mbah Maimun dan Mas Romi. Info yang di diskusikan juga bukan hal yang privat, yang rahasia, sehingga perlu menarik Romi pada ruang privat. Video dengan jelas menggambarkan bagaimana Mas Romi mencoba ‘menggiring’ Mbah Yai pada simpulan untuk mendukung Jokowi.
*Ketiga,* diskusi di kamar mbah Yai ini juga sarat kepentingan politik. Sementara diskusi politik adalah diskursus ruang publik, bukan ruang privat.
Dengan demikian, dapat disimpulkan tindakan Mas Romi mengambil video wawancara dengan Mbah Yai Maimun adalah tindakan lancang, Su’ul Adab (adab jelek), dan tidak mencirikan karakter santri yang sangat ta’zim pada sang Kiyai. Dengan motif politik, Mas Romi tega ‘Ngluruk’ mbah Maimun hingga ‘dipersekusi’ di kamar pribadinya.
Jadi demikianlah, jeleknya adab dan perilaku politisi. Hanya untuk gain politik, politisi ngawur melabrak adab, sopan santun, tata krama, bahkan melanggar batas-batas ‘sakral’ dan tidak menghargai dan memuliakan ulama. Politisi rela merusak adab, hanya untuk memburu syahwat politik.
Mas Romi akan sangat ‘Wirang’ manakala doa Mbah Maimun tidak direvisi, setelah sebelumnya gagal mencoba melakukan penyesuaian di forum formal.
Tidak perlu begitu dipersoalkan dukungan mbah Yai Maimun Zubair. Tapi cara menggali dukungan, cara mengutarakan dukungan, yang dalam ‘tekanan’ itu yang tak adab. Ini merusak ikhtirom pada ulama.
Diharapkan, ini adalah kejadian yang pertama dan juga yang terakhir. Tidak boleh terulang lagi, oleh siapa pun. Kita semua sejatinya harus merasa marah, jika seorang ulama tidak diposisikan pada maqomnya. Perlu kita semua ketahui jika ulama sejatinya adalah seorang Warosatul Ambiya’, jadi bukan sasaran objek selvie dan ngevlog layaknya anak ABG. Apalagi ngevlog dan selfienya hanya karena ada udang dibalik, alias memiliki maksud tertentu. Tempat ulama dimuliakan, bukan dihinakan. [].