Umroh.com – Allah memberikan banyak kesempatan kepada hambanya, untuk selalu mendekatkan diri kepada-Nya. Dalam setahun, banyak kesempatan beribadah kepada-Nya, ada ibadah harian atau tahunan. Salah satu amalan yang bisa kita lakukan tiap tahun adalah puasa. Puasa ada wajib dan sunnah yang menjadi ladang amal pahala bagi yang melaksanakannya. Salah satunya anjuran puasa tarwiyah di dalam islam.
Baca juga : Niat dan Hukum Puasa Tarwiyah di Dalam Islam
Keutamaan Puasa Tarwiyah
Umroh.com merangkum, puasa Tarwiyah dianjurkan bagi yang berhaji maupun yang tidak sedang berhaji, bahkan beserta tujuh hari sebelumnya, yaitu tanggal 1-7 Dzulhijjah. Rasulullah bersabda,
صَومُ يَوْمِ التَّرْوِيَّةِ كَفَّارَةٌ سَنَةً وَصَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ كَفَّارَةٌ سَنَتَيْنِ
“Puasa Hari Tarwiyah menghapus dosa setahun, dan puasa Hari Arafah menghapus dosa dua tahun.” (Jamiul Ahadits, XIV, 34)
Adapun keutamaan puasa lainnya dengan melaksanakan puasa ini akan di anugerahi oleh Allah SWT dengan 10 macam kemuliaan, yaitu: Allah akan memberi keberkahan pada kehidupannya, Allah akan menambah harta, Allah akan menjamin kehidupan rumah tangganya, Allah akan membersihkan dirinya dari segala dosa dan kesalahan yang telah lalu, Allah akan melipat gandakan amal dan ibadahnya, Allah akan menerangi kuburnya selama di alam Barzah6.
Allah akan memudahkan kematiannya, Allah akan menerangi kuburnya selama di alam Barzah, Allah akan memberatkan timbangan amal baiknya di Padang Mahsyar, Allah akan menyelamatkannya dari kejatuhan kedudukan di dunia ini, dan Allah akan menaikkan martabatnya di sisi Allah SWT.
Anjuran Puasa Tarwiyah
Termasuk ibadah yang amat sangat dianjurkan pada bulan Dzulhijjah adalah puasa berturut-turut selama tiga hari. Anjuran puasa tarwiyah dalam tiga hari tersebut yaitu pada tanggal delapan, sembilan dan sepululuh. Puasa pada tanggal delapan disebut puasa tarwiyah, puasa pada tanggal sembilan disebut puasa arafah, puasa pada tanggal sepuluh adalah yaumun nahr yaitu “puasa sebentar” (tidak makan terlebih dahulu) yaitu dari waktu imsak hingga setelah melaksanakan shalat idul adha.
Puasa Tarwiyah sangat dianjurkan, untuk turut merasakan nikmat yang sedang dirasakan oleh para jamaah haji yang sedang menjalankan ibadah di tanah suci. Hari-hari pada sepersepuluh bulan Dzulhijjah adalah hari-hari yang istimewa. Abnu Abbas ra meriwayatkan Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak ada perbuatan yang lebih disukai oleh Allah SWT, dari pada perbuatan baik yang dilakukan pada sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah. Para sahabat bertanya : Ya Rasulullah! walaupun jihad di jalan Allah? Sabda Rasulullah: Walau jihad pada jalan Allah kecuali seorang lelaki yang keluar dengan dirinya dan harta bendanya, kemudian tidak kembali selama-lamanya (menjadi syahid),” (HR Bukhari)
Menjalani ibadah umroh adalah impian orang-orang yang beriman dan wujudkan itu bersama Umroh.com!
[xyz-ihs snippet="Iframe-Package"]
Dalil yang menjadi pegangan anjuran puasa tarwiyah, 8 Dzulhijjah,
صوم يوم التروية كفارة سنة وصوم يوم عرفة كفارة سنتين (أبو الشيخ ، وابن النجار عن ابن عباس)
“Puasa pada hari tarwiyah (8 Dzulhijah) akan mengampuni dosa setahun yang lalu. Sedangkan puasa hari Arafah (9 Dzulhijjah) akan mengampuni dosa dua tahun.” Diriwayatkan oleh Abusy Syaikh dan Ibnu An Najjar dari Ibnu ‘Abbas.
Ibnul Jauzi mengatakan bahwa hadits ini tidak shahih. Asy Syaukani mengatakan bahwa hadits ini tidak shahih dan dalam riwayatnya ada perawi yang pendusta. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if (lemah). Jika hadits di atas adalah dho’if (lemah), maka berarti tidak boleh diamalkan dengan sendirinya.
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Tidak boleh bersandar pada hadits-hadits dho’if (lemah) yang bukanlah hadits shahih dan bukan pula hadits hasan. Akan tetapi, Imam Ahmad bin Hambal dan ulama lainnya membolehkan meriwayatkan hadits dho’if dalam fadhilah amal selama tidak diketahui hadits tersebut shahih atau hadits tersebut bukan diriwayatkan oleh perawi pendusta.
Punya rencana untuk berangkat umroh bersama keluarga? Yuk wujudkan rencana Anda cuma di umroh.com!
Namun boleh mengamalkan isinya jika diketahui ada dalil syar’i yang mendukungnya. Jika haditsnya bukan diriwayatkan oleh perawi yang pendusta, boleh jadi pahala yang disebutkan dalam hadits tersebut benar. Akan tetapi, para ulama katakan bahwa tidak boleh menyatakan wajib atau sunnah pada suatu amalan dengan dasar hadits dho’if. Jika ada yang mengatakan bolehnya, maka dia telah menyelisihi ijma’ (kata sepakat para ulama).” (Al Majmu’ Al Fatawa, 1: 250-251)