Ada suatu percakapan antara ustadz dan jamaahnya. Percakapan itu mengenai pilihan antara Fir’aun dan Musa. Seperti inilah kurang lebih percakapannya:
Ustadz:
Andai kita hidup pada zaman Fira’un, kira- kira kita jadi pengikut siapa, Fir’aun atau Nabi Musa?
Jama’ah : “Musaaaaa.” (semua jamaah menjawab dengan kompak).
Ustadz:
Yakiiin?
Jama’ah : Yakiiiiiin (tetap menjawab dengan kompak dan serentak)
Ustadz:
Tapi yang membangun kota Mesir, Fir’aun.
Yang membangun infrastruktur juga dia.
Dia telah berhasil membangun Piramida.
Dia juga orang yang paling kaya.
Fir’aun juga memiliki bala tentara banyak dan kuat.
Dia memiliki banyak pengikut, Fir’aun.
Dia pun bisa memberikan perlindungan dan jaminan keamanan.
Kekuasaan Fir’aun juga begitu besar dan tiada baras.
Dia dapat menyediakan makanan dan minuman
Fir’aun juga sering mengadakan hiburan
Dia juga berhasil membangun pusat perbelanjaan, serta fasilitas-fasilitas hebat yang ada di kota.
Sedangkan Musa sendiri siapa?
Hanya seorang penggembala kambing.
Bicaranya saja tidak fasih alias cadel (karena pernah memakan bara api diwaktu bayi), hanya mempunyai sebatang tongkat butut.
Masih yakin ingin menjadi pengkikut Nabi Musa?
Tanya sang ustadz sekali lagi.
Jama’ah pun terdiam akan penjelasan sang ustadz. Sang ustadz pun kembali bertanya:
Ustadz:
Pekerjaan Nabi Musa hanya sebagai penjaga kambing, tiba-tiba dia hendak mengajak kita menyebrangi lautan, tanpa memakai sampan, perahu, atau pun kapal.
Apakah yakin kita mau ikut Nabi Musa dan tidak memilih ikut dengan Fir’aun yang memiliki kekuatan dan kekuasaan besar itu?
Jama’ah tidak ada yang berani menjawab.
Semuanya tertunduk, diam seribu bahasa..
Pelajaran yang dapat kita ambil disini adalah kita harus sanggup menghadapi setiap ujian keimanan yang ada. Jangan sampai ujian keimanan justru akan membuat kita rela menggadaikan aqidah. Justru sebaliknya, jadikanlah setiap ujian keimanan makin dapat mengokohkan.
Dari cerita ustadz tersebut, dapat kita lihat bahwa harta, wanita, pangkat, jabatan, pujian, dan rasa cinta akan dunia, dapat membuat kita tidak berhasil melewati ujian keimanan. Karena itu berhati-hatilah agar kita tidak sampai dibutakan itu semua.
Selain itu, satu pesan lagi yang dapat kita ambil adalah untuk meraih kebenaran, jangan melihat sosok orang yang menyampaikan, tapi lihatkanlah apa yang disampaikannya. Islam sudah jelas memberi tahu kita mana yang baik dan mana yang buruk. Mana yang sesuai syariat dan mana yang melanggar.
Jangan sampai hanya gara-gara yang menyampaikan adalah orang yang terpandang dan memiliki banyak harta serta jabatan tinggi, kita jadi langsung membenarkan ucapannya jika itu sebuah kesesatan.
Dan begitu pula sebaliknya, jangan hanya gara-gara yang menyampaikan adalah orang yang mungkin dianggap rendah dan hina, membuat kita tidak mau menerimanya jika itu sebuah kebenaran.
Semoga kita dapat mengambil hikmah dari kisah ini. Sehingga kita pun selalu berada di jalan yang lurus, yaitu jalan-jalan yang Allah ridhoi. Aamin