1
Muslim Lifestyle News

Bagaimana Menyikapi Peristiwa Bencana?

Google+ Pinterest LinkedIn Tumblr
Advertisements
webinar umroh.com

  Sering kali kita mendengar istilah “musibah” yang biasanya dilawankan dengan istilah “anugerah” atau “nikmat”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, musibah berarti kejadian (peristiwa) menyedihkan yang menimpa; bisa juga bermakna malapetaka atau bencana. Sedangkan anugerah atau nikmat berarti pemberian atau karunia (dari Allah), atau enak, lezat, dan kesenangan. Secara umum kira-kira bisa ditarik kesimpulan bahwa anugerah berkenaan dengan hal-hal yang menyenangkan, sementara musibah berkaitan dengan hal-hal yang tidak menyenangkan

 

Secara umum, orang kemudian memaknai bencana alam hampir selalu sebagai musibah. Hal tersebut sangat wajar karena peristiwa-peristiwa menyedihkan yang mengiringinya, seperti kehilangan anggota keluarga, kehilangan tempat tinggal, mengalami luka-luka, hingga kehidupan yang mendadak berubah menjadi serba-sulit: kekurangan makanan, air bersih, obat-obatan, sanitasi yang layak, dan lain sebagainya.

 

Secara lebih mendalam, bencana alam bersifat relatif: bisa bermakna musibah, bisa juga justru merupakan anugerah (karunia dari Allah). Hal itu sangat tergantung pada diri seseorang dalam menyikapi bencana. Karena relatif, bencana alam bagi tiap orang memiliki sudut pandang berbeda-beda: bisa jadi adalah musibah bagi satu orang, namun anugerah bagi orang lainnya—tergantung cara dia merespons peristiwa itu. Dengan bahasa lain, bencana adalah kiriman yang mengandung pelajaran, bukan hanya bagi yang tertimpa bencana tapi juga yang tidak terkena bencana. Sekali lagi, pelajaran itu berlaku buat semua orang, entah mengalami bencana itu ataupun tidak.

Kapan bencana alam itu menjadi musibah dan kapan ia merupakan anugerah? Jawabannya sangat tergantung seberapa jauh pelajaran dari bencana alam itu terserap dan berpengaruh positif pada diri seseorang, baik yang tertimpa bencana itu atau yang sekadar menyaksikannya.

 

webinar umroh.com

Dalam bencana didapatkan pelajaran diantaranya;

  1. Muhasabah atau introspeksi diri. Kita dianjurkan untuk mengevaluasi diri kita, apa saja kekurangan dan kesalahan yang perlu dibenahi. Bencana alam seperti tsunami, gempa bumi, dan gunung meletus adalah fenomena yang tidak bisa dikendalikan manusia. Ini bukti kelemahan manusia, dan seyogianya bencana alam menyadarkan mereka untuk kian merendah serendahnya di hadapan Allah ﷻ. Bila bencana itu disadari akibat kesalahan manusia, maka seharusnya bencana alam berdampak pada perubahan sikap kita menjadi lebih baik. Muhasabah ini penting dilakukan baik oleh mereka yang menjadi korban maupun bukan korban. Sayyidina Umar bin Khattab pernah berkutbah: “Hisablah dirimu sebelum engkau dihisab. Karena sesunguhnya hal itu akan meringankan hisabmu (di hari kiamat).” Pesan dari pidato Sayyidina Umar sangat jelas bahwa kita dianjurkan untuk mengevaluasi diri sendiri, bukan mengevaluasi orang lain. Bagi korban, bencana adalah fase penting memeriksa dosa-dosa sendiri, tingkat penghambaan kepada Allah, pergaulan sosial, dan sikap terhadap lingkungan alam selama ini. Bagi mereka yang bukan korban dan di luar lokasi bencana, hal ini adalah peringatan bagi diri sendiri untuk kian menjaga perilaku dan sifatnya baik kepada Allah, sesama manusia, dan juga alam sekitar. Sangat disesalkan bila ada orang yang kebetulan tak menjadi korban menuding bahwa bencana alam yang menimpa saudara-saudaranya di lokasi tertentu merupakan azab atas dosa-dosanya. Apalagi jika tuduhan itu dikaitkan dengan kepentingan politik tertentu. Sikap yang demikian tak hanya bertentangan dengan prinsip muhâsabatun nafsi (evaluasi diri sendiri, bukan orang lain), tapi juga dapat mendorong mudarat baru karena bisa menyinggung perasaan para korban dan menunjukkan tidak adanya empati kepada korban. Terkait hal ini, Imam Nawawi dalam kitab al-Adzkâr pernah membolehkan orang yang selamat dari bencana untuk mengucap syukur tapi sembari memberi catatan: harus dengan suara sangat pelan (sirr) agar tidak melukai perasaan mereka yang sedang mengalami penderitaan.

  1. Rasa syukur dan Optimis. Sikap syukur dan optimis berdasar pada sabda Nabi Muhammad SAW “Tidaklah seorang mukmin terkena duri atau yang lebih menyakitkan darinya kecuali Allah mengangkatnya satu derajat dan menghapus darinya satu kesalahan.” (HR. Tirmidzi). Dalam konteks ini, bersyukur bagi para korban adalah ridho atas bencana yang menimpanya dan menilai penderitaan saat ini adalah cara Allah melebur dosa-dosanya dan menaikkan kualitas kepribadiannya. Sebagaimana UAS bagi siswa sekolah untuk naik ke semester berikutnya, bencana merupakan ujian bagi para korban untuk bisa mendaki pada derajat yang lebih mulia. Hadits tersebut merupakan cara Rasulullah memberikan optimisme kepada umatnya agar tidak larut secara terus-menerus dalam kesedihan, banyak mengeluh, apalagi sampai putus asa. Dalam penderitaan, kita mesti husnudhon (berprasangka baik) bahwa ada maksud khusus dari Allah untuk meningkatkan mutu diri kita, baik dalam ibadah (menghamba kepada Allah) dan muamalah (hubungan sosial). Bagi mereka yang tak terdampak bencana, syukur dalam konteks ini mengacu pada karunia keamanan dari Allah kepada dirinya, sehingga tidak hanya bisa muhâsabah atas peristiwa yang disaksikannya tapi juga bisa beribadah dalam situasi yang lebih nyaman dibanding saudara-saudaranya yang tertimpa musibah. Mereka juga harus belajar dari kesalahan-kesalahan dan optimis menatap perjalanan ke depan.

  1. Banyaknya ladang amal ibadah pascabencana. Jika bencana adalah ujian kenaikan derajat, maka kenaikan tersebut hanya terjadi bila yang bersangkutan benar-benar lulus dari ujian. Bencana alam merupakan wasilah (perantaraan) bagi para korban yang isinya menuntut manusia untuk sabar, ikhtiar, tawakal, dan semakin mendekatkan diri kepada Allah. Inna lillahi wa inna ilaihi roji‘un, sesungguhnya kita semua adalah milik Allah dan sungguh kepadaNya kita kembali. Kualitas kepribadian mereka sebagai hamba meningkat manakala “materi ujian” dapat dilalui dengan baik dan benar. Bagi mereka yang tidak menjadi korban, bencana alam adalah ujian untuk menunjukkan kepedulian kemanusiaan atas mereka yang sedang ditimpa kesulitan. Pertolongan berupa tenaga, pikiran, dana, harta benda, makanan, doa, dan lain sebagainya penting disalurkan. Syukur atas keselamatan diri kita dari bencana bisa ditunjukkan dengan kesediaan berbagi kepada mereka yang membutuhkan uluran tangan. Bisa dengan menjadi relawan, donatur bantuan, atau keterlibatan lainnya yang dapat meringankan beban para korban.

hikmah di balik bencana, maka itu artinya terkait dengan sikap-sikap bijak kita dalam menyikapi bencana. Karena kata hikmah bermakna kebijaksanaan. Semoga bencana alam yang merupakan bagian dari fenomena alamiah tak menimbulkan bencana baru dalam kehidupan spiritual kita.