Selalu ada saja kejadian di dunia ini. Secara tidak disangka-sangka, seseorang berangkat kerja di pagi hari untuk mencari nafkah bisa saja tiba-tiba terkena musibah. Kecelakaan yang hebat tiba-tiba terjadi sehingga mengakibatkan luka atau bahkan cacat fisik. Semua itu membutuhkan perawatan. Tak jarang kemudian terpaksa salah satu anggota badan harus dipasang gips atau dibalut dengan perban.
Apabila lukanya berupa luka lecet, maka tidak begitu berbahaya. Namun apabila lukanya berupa luka patah tulang, atau luka bakar yang serius, tentu hal ini akan melahirkan masalah baru, utamanya adalah masalah dalam menjalankan syariat shalat. Persoalan pertama yang berhubungan langsung dengan luka barangkali adalah bagaimana cara kita bersuci?
Sebuah luka, ada kalanya perlu dibalut dengan perban, dan adakalanya tidak. Untuk luka yang tidak dibalut dengan perban, bisa jadi karena luka tersebut tidak terlalu serius. Atau bisa jadi pula sebenarnya lukanya serius, akan tetapi nekad untuk tidak dibalut. Ketika bagian yang luka terkena air, efeknya luar biasa kesakitannya bagi si sakit.
Demikian pula dengan luka yang dibalut dengan perban, ada kalanya benar-benar tidak bisa dibuka bilamana kondisinya belum sembuh benar, namun adakalanya pula, si orang sakit hanya menghindarkan luka dari udara terbuka agar tidak berujung infeksi. Seandainya dibuka pun tidak masalah. Lantas, bagaimana solusi fiqihnya terhadap tata cara bersuci bagi orang dengan luka-luka sebagaimana dimaksudkan?
Untuk setiap kondisi luka, kita bedakan saja dalam kesempatan ini sebagai luka ringan dan luka berat. Untuk kondisi luka ringan, para ulama fiqih sepakat menyatakan tidak ada perlakuan khusus terhadapnya. Bahkan, apabila luka itu dibalut dengan perban, maka wajib bagi si sakit untuk membuka perban tersebut sehingga tidak menghalangi sampainya air ke kulit yang sehat dan bagian yang tampak dari luka.
Syekh Taqiyuddin Abu Bakar al-Hushny menjelaskan bahwa “Jika perban bisa dilepas ketika menghendaki bersuci karena ketiadaan bahaya pada bagian yang sakit, maka wajib melepas perban itu. Selanjutnya, bila memungkinkannya, maka bagian anggota yang sehat dan sekaligus bagian yang sakit dibasuh dengan air. Namun, bila tidak memungkinkan (karena timbul rasa sakit yang sangat), maka khusus bagian yang sakit diusap dengan debu, bilamana luka itu berada di bagian tubuh anggota tayammum.”
Apa maksud dari mengusap luka dengan debu?
Mengusap debu pada bagian yang sakit ini bukan sekadar mengusap saja. Namun, yang dimaksud dengan mengusap debu di sini adalah debu yang bersama-sama dalam rangkaian tayammum. Dengan demikian, bilamana seseorang yang luka menghendaki bersuci, maka tata cara bersucinya adalah dilakukan dengan jalan dua cara, yaitu berwudhu yang disusul dengan tayammum.
Tentu dalam hal ini ada banyak perincian diperlukan. Namun secara garis besar, semua perincian itu didasarkan pada bisa atau tidaknya si penderita membasuh bagian tubuh lukanya saat bersuci dari hadats besar. Bila si penderita mampu menyempurnakan cara bersucinya, maka ia tidak perlu melakukan i’adah shalat saat ia sudah sembuh. Dan, apabila si penderita tidak bisa bersuci dengan sempurna, maka ia terkena hukum wajib melakukan i’adah shalat. Lantas apa status shalat penderita saat kondisi masih sakit? Jawabnya, adalah shalat yang dilakukan penderita selama ia sakit dan belum bisa menyempurnakan sucinya, disebut dengan shalat li hurmati al-waqti, yakni shalat untuk menghormati waktu.