Suatu hari,setelah seharian berkeliling, seorang suami pulang ke rumah. Saat istrinya sudah membukakan pintu, ia pun segera masuk ke rumag. Setelah masuk, sang suami mendapati ada sepotong keju yang diletakkan di piring yang ada di atas meja makan. Ia pun langsung menghampiri dan menyantap keju itu seraya berkata kepada istrinya, “Keju itu bagus untuk kesehatan perut.”
.
Istrinya diam saja, tak berkomentar.
.
Pada keesokan harinya, setelah seharian pergi, sang suami kembali pulang ke rumah. Ia saat itu berharap bahwa akan ada lagi keju yang diletakkan di atas piring yang terdapat di atas meja makan. Namun, ia tak menemukannya. Ia lalu menemui istrinya dan bertanya, “Kok tidak ada keju lagi?”
.
“Memangnya kenapa?” jawab istrinya.
.
“Tidak apa-apa, sih. Lagipula keju tidak bagus untuk kesehatan gigi.”
.
“Jadi yang benar yang mana? Keju itu bagus untuk kesehatan perut atau tidak bagus untuk kesehatan gigi?” tanya istrinya.
.
“Tergantung”. “Kejunya ada atau tidak…?”
=======================================
Pembaca yang budiman, postingan ini tidak bermaksud untuk membuat lelucon dengan mencatut cerita fiktif di atas. Penulis hanya ingin mengajak pembaca merenung. Betapa bersilat lidah saat ini sudah dianggap hal biasa.
Dibandingkan dengan silat-lidah pada contoh kasus di atas, apa yang kita saksikan hari ini parah. Apa yang dicontohkan pada cerita di atas memang tentu tidak berefek apa-apa selain menunjukkan kecerdikannya dalam menyikapi keadaan yang berbeda; antara ada dan tidak adanya keju.
.
Sebaliknya, hari ini kita juga bisa menyaksikan banyaknya orang bersilat lidah demi tujuan yang buruk. Anehnya, hal demikian tidak dianggap sebagai sesuatu yang tabu. Apalagi dianggap aib dan dosa.
.
Lihatlah fenomena yang terjadi pada para elit politik kita saat ini. Hari ini bicara A. Besoknya bisa bicara B. Isuk dele sore tempe (pagi kedelai sore tempe). Demikian kata orang Jawa. Tidak aneh memang jika kemudian kita melihat ada yang hari ini menjelek-jelekkan tokoh A namun pada esoknya sudah memuji-muji yang bersangkutan. Hari ini berseberangan idenya namun esoknya sudah dapat saling bergandengan tangan. Hari ini ngambek namun esoknya sudah saling berpelukan. Sebelumnya memusuhi ulama namun sekarang malah bergandengan tangan dengan ulama.
.
Siapapun pasti bisa menilai dari fenomena tersebut. Semua yang dilakukan pada contoh fenomena itu bukanlah sesuatu yang berangkat dari sebuah ketulusan hati, tetapi semata-mata karena suatu kepentingan tertentu. Mereka pada hakikatnya sedang mempraktikkan adagium politik sekular yang kotor, ”Tidak ada kawan atau musuh abadi. Yang ada hanyalah kepentingan abadi.”
.
(bersambung ke part 2)