(untuk bagian sebelumnya, dapat dilihat di link berikut: https://www.umroh.com/blog/beginilah-hukum-kepemilikan-tanah-menurut-sudut-pandang-islam-part-2/)
Salah satu bentuk kepemilikan tanah lainnya dalam Islam adalah Tanah Kharajiyah. Tanah Kharajiyah adalah tanah yang dikuasai oleh kaum muslimin melalui suatu peperangan (al-harb), misalnya saja seperti tanah Irak, Syam, dan Mesir kecuali Jazirah Arab. Atau bisa juga tanah yang dikuasai oleh kaum muslimin melalui suatu prosesperdamaian (al-shulhu), misalnya tanah Bahrain dan Khurasan. (Al-Nabhani, ibid., Juz II hal. 248).
Tanah kharajiyah ini zatnya (raqabah) adalah milik seluruh kaum muslimin, di mana negara melalui Baitul Mal bertindak mewakili kaum muslimin. Ringkasnya, tanah kharajiyah ini zatnya adalah milik negara. Jadi tanah kharajiyah zatnya bukan milik individu seperti tanah kharajiyah. Namun manfaatnya adalah milik individu. Meski tanah tanah kharajiyah dapat diperjualbelikan, dihibahkan, dan diwariskan, namun berbeda dengan tanah usyriyah, tanah kharajiyah tidak boleh diwakafkan, sebab zatnya milik negara. Sedang tanah usyriyah boleh diwakafkan sebab zatnya milik individu. (Al-Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, hal. 303).
Tanah kharajiyah ini jika berbentuk tanah pertanian akan terkena kewajiban kharaj (pajak tanah, land tax), yaitu pungutan yang diambil negara setahun sekali dari tanah pertanian yang besarnya diperkirakan sesuai dengan kondisi tanahnya. Baik ditanami atau tidak, kharaj tetap dipungut.
Tanah kharajiyah yang dikuasai dengan perang (al-harb), kharajnya bersifat abadi. Artinya kharaj tetap wajib dibayar dan tidak gugur, meskipun pemiliknya masuk Islam atau tanahnya dijual oleh non muslim kepada muslim. Sebagaimana Umar bin Khaththab tetap memungut kharaj dari tanah kharajiyah yang dikuasai karena perang meski pemiliknya sudah masuk Islam. (Zallum, ibid., hal. 47; Al-Nabhani, ibid., Juz II hal. 245).
Tapi jika tanah kharajiyah itu dikuasai dengan suatu proses perdamaian (al-shulhu), maka akan ada dua kemungkinan yang bisa terjadi pada tanah itu: (1) jika perdamaian itu menetapkan bahwasannya tanah itu menjadi milik kaum muslimin, kharajnya bersifat tetap (abadi) meski pemiliknya masuk Islam atau tanahnya dijual kepada muslim. (2) namun apabila perdamaian itu menetapkan jika tanah tersebut menjadi milik mereka (non muslim), maka kedudukan kharaj akan sama dengan jizyah, yang akan gugur jika pemiliknya telah masuk Islam atau tanahnya dijual kepada muslim. (Zallum, ibid., hal. 47).
Jika tanah kharajiyah yang ada bukan berbentuk tanah pertanian, misal berupa tanah yang dijadikan pemukiman penduduk, maka ia tak terkena kewajiban kharaj. Demikian pula tidak terkena kewajiban zakat (usyr). Kecuali jika tanah itu diperjualbelikan, akan terkena kewajiban zakat perdagangan. (Al-Nabhani, ibid., Juz II hal. 247).
Namun kadang kharaj dan zakat (usyr) harus dibayar bersama-sama pada satu tanah. Yaitu jika ada tanah kharajiyah yang dikuasai melalui perang (akan terkena kharaj abadi), lalu tanah itu dijual kepada muslim (akan terkena zakat/usyr). Dalam kondisi ini, kharaj dibayar lebih dulu dari hasil tanah pertaniannya. Lalu jika sisanya masih mencapai nishab, zakat pun wajib dikeluarkan. (Zallum, ibid., hal. 49).
(bersambung ke part 4)