(untuk bagian sebelumnya, bisa dilihat di link berikut: https://www.umroh.com/blog/beginilah-hukum-kepemilikan-tanah-menurut-sudut-pandang-islam-part-4/)
– Pemanfaatan Tanah (at-tasharruf fi al-ardh)
Syariah Islam mengharuskan pemilik tanah pertanian untuk dapat mengolah tanah tersebut sehingga tanahnya menjadi produktif. Negara juga dapat memberikan bantuan dalam penyediaan sarana produksi pertanian, seperti misalnya kebijakan yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khathab pada saat beliau memberikan bantuan berupa sarana pertanian kepada para petani yang ada Irak untuk dapat mengolah tanah pertanian mereka.
Jika pemilik tanah itu tidak mampu mengolahnya, dianjurkan untuk diberikan kepada orang lain tanpa kompensasi. Nabi SAW bersabda,”Barangsiapa mempunyai tanah (pertanian), hendaklah ia mengolahnya, atau memberikan kepada saudaranya.” (HR Bukhari).
Jika pemilik tanah pertanian menelantarkan begitu saja tanahnya selama jangka waktu tiga tahun, maka hak kepemilikannya akan hilang, sebagaimana telah diterangkan sebelumnya.
– Larangan Menyewakan Lahan Pertanian
Lahan pertanian tidak boleh disewakan, baik tanah yang berbentul kharajiyah maupun tanah yang berbentu usyriyah, baik sewa itu dibayar dalam bentuk hasil pertaniannya maupun dalam bentuk lainnya (misalnya uang).
Rasulullah SAW bersabda,”Barangsiapa mempunyai tanah (pertanian), hendaklah ia mengolahnya, atau memberikan kepada saudaranya, jika ia enggan [memberikan] maka tahanlah tanahnya itu.” (HR Bukhari). Dalam hadis sahih riwayat Muslim, Rasulullah SAW telah melarang mengambil upah sewa (ajrun) atau bagi hasil (hazhun) dari tanah. Hadis-hadis ini dengan jelas melarang penyewaan lahan pertanian (ijaratul ardh).
Sebagian ulama membolehkan penyewaan lahan pertanian dengan sistem bagi hasil, yang disebut muzara’ah. Dengan dalil bahwa Rasulullah SAW telah bermuamalah dengan penduduk Khaibar dengan sistem bagi hasil, yakni setengah hasilnya untuk Rasulullah SAW dan setengah hasilnya untuk penduduk Khaibar.
Dalil ini kurang kuat, karena tanah Khaibar bukanlah tanah pertanian yang kosong, melainkan tanah berpohon. Jadi muamalah yang dilakukan Nabi SAW adalah bagi hasil merawat pohon yang sudah ada, yang disebut musaqat, bukan bagi hasil dari tanah kosong yang kemudian baru ditanami (muzara’ah). Tanah Khaibar sebagian besar adalah tanah berpohon (kurma), hanya sebagian kecil saja yang kosong yang dapat ditanami. (Al-Nabhani, ibid., hal. 142).
Larangan ini khusus untuk perkara menyewakan lahan pertanian yang dimanfaatkan untuk ditanami. Adapun menyewakan tanah yang tidak dimanfaat untuk ditanami, misalnya saja tanah yang dipergunakan untuk dibuat kandang peternakan, kolam ikan, tempat penyimpanan (gudang), atau mungkin dipergunakan untuk menjemur padi, dan sebagainya, hukumnya boleh-boleh saja sebab tidak ada larangan Syariah dalam masalah ini.
(bersambung ke part 6)