Allah Maha Mengatur, tidak ada yang sesuatu pun yang terjadi melainkan telah Allah tentukan.
Tinta pena telah mengering, lembaran-lembaran catatan ketentuan telah disimpan, setiap perkara telah diputuskan dan takdir telah ditetapkan.
Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami, melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami.”
(dr. Aidh Al-Qarni)
Setiap yang terjadi di episode hidupmu telah digariskan. Setiap persoalan yang kini engkau hadapi, dahulunya telah diputuskan.
Potret waktu yang penuh duka, lika-liku hidup yang kerap membuatmu kecewa hingga momentum kebahagiaan, ia tidak sekonyong-konyong hadir menimpamu melainkan telah diputuskan, ditetapkan, dan atas kehendak-Nya lah semuanya terjadi.
Maka, alangkah meruginya orang yang sebagian besar waktunya habis untuk menyumpahi masalah yang hadir di hidupnya, mengeluhkan kondisinya, dan memelihara rasa sakit di dadanya.
Hampir seluruh kejadian dipandangnya petaka, sampai tak menyisakan sedikit rasa bersyukur dan kemauan untuk memetik pengajaran (hikmah) darinya. Alangkah ruginya.
Mereka adalah orang yang miskin pengharapan (roja’). Tidak memiliki persangkaan yang baik pada Rabb-Nya. Baik sangka saja tidak apalagi yakin. Astaghfirullah.
Maka, sebetulnya kita bisa melihat seberapa kadar kualitas iman kita dari sikap kita atas kejadian dan peristiwa yang menimpa kita.
Allah berfirman, “Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya tanpa hikmah (hanya sia-sia saja)..”(Ash-Shaad [38]: 27)
Pun ketika Allah mendatangkan manfaat (kebaikan) atau musibah pada diri seseorang, pastilah Allah selipkan hikmah atau pengajaran di dalamnya.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam pernah bersabda, “Sungguh amat mengagumkan orang mukmin, karena semua urusannya itu baik baginya. Bila ia mendapat nikmat (kebahagiaan), dia bersyukur, maka itu menjadi kebaikan baginya. Dan bila ditimpa musibah, dia bersabar, maka itu menjadi kebaikan baginya.” (HR. Muslim)
Berbaik sangka (husnuzhan) kepada Allah perlu diimbangi dengan amalan. Sebab jika tidak, ia tak ubahnya dengan terpedaya diri sendiri (ghurur).
Ibnu Qayyim rahimahullah pernah berkata, “Telah jelas perbedaan antara husnuzhan dan ghurur (terpedaya diri sendiri). Berprasangka baik mendorong lahirnya amal, menganjurkan, membantu dan menuntun untuk melakukannya. Inilah sikap yang benar. Tapi kalau mengajak kepada pengangguran dan bergelimang dalam kemaksiatan, maka itu adalah ghurur (terpedaya diri sendiri). Berprasangka baik itu adalah pengharapan (raja), barangsiapa pengharapannya membawa kepada kataatan dan meninggalkan kemaksiatan, maka itu adalah pengharapan yang benar. Dan barangsiapa yang keengganannya beramal dianggap sebagai sikap berharap, dan sikap berharapnya berarti enggan beramal atau meremehkan, maka itu termasuk terpedaya. ” (Al-Jawab Al-Kafi)
Syaikh Shaleh Al-Fauzan pernah menasehati bahwa prasangka baik kepada Allah haruslah disertai dengan meninggalkan kemaksiatan. Jika tidak, maka tak ubahnya seperti sikap merasa aman dari azab Allah.
Berprasangka baik pada Allah adalah kunci menggapai ketenangan hidup. Sebab kita memahami, bahwa hakikatnya Allah Maha Mengetahui. Allah yang lebih tahu mana yang terbaik bagi hamba-Nya. Seperti firman-Nya, “…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 216)
Sadarilah dan mantapkanlah hati kita, bahwa di balik rasa sakit ada rahmat yang tercurah. Di balik musibah ada hikmah yang Allah selipkan, meski kadang tak terbungkus dengan indah.
Sadarilah, di balik rasa kecewa Allah ingin mengajari kita untuk tidak bergantung pada selain-Nya.
Allah Ta’ala berfirman dalam hadits qudsi,
“Aku tergantung persangkaan hamba kepadaKu. Aku bersamanya kalau dia mengingat-Ku. Kalau dia mengingatku pada dirinya, maka Aku mengingatnya pada diriKu. Kalau dia mengingatKu di keramaian, maka Aku akan mengingatnya di keramaian yang lebih baik dari mereka. Kalau dia mendekat sejengkal, maka Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Kalau dia mendekat kepada diri-Ku sehasta, maka Aku akan mendekatinya sedepa. Kalau dia mendatangi-Ku dengan berjalan, maka Aku akan mendatanginya dengan berlari.” (HR bukhari, No. 7405 dan Muslim, no. 2675)
Sekali lagi sadarilah, betapa Allah begitu mencintaimu dengan istimewa. Dengan cara yang kadang tak bisa dipahami akal manusia.
Allah yang menggenggam hatimu, mengatur urusan hidupmu, menjamin rizqimu, melimpahkan nikmat yang tak terhitung jumlah-Nya padamu, menjanjikan maghfirah bagimu seluas langit dan bumi, menutupi aib-aibmu dan menjanjikan surga dengan segala kenikmatannya untuk menghibur dirimu.
Allah Maha Baik, Allah Maha Adil. Semua yang ditetapkan-Nya, pasti baik. Semua yang ditetapkanNya pasti sesuai. Tidak ada yang paling baik dan paling adil kecuali Allah.
Maka ya Allah,
Laa Ilaahailla Anta, Subhanaka inni kuntu minazhzalimiin..