1
Muslim Lifestyle

Ghibah, Pengertian dan Jenis yang Diperbolehkan

Google+ Pinterest LinkedIn Tumblr
Advertisements
webinar umroh.com

Pengertian Ghibah

  • Menurut Imam Al-Ghazali sebagaimana yang dinukil oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Adzkar hal. 281: Ghibah adalah kamu menyebut saudaramu mengenai apa-apa yang dia benci. (Sa’di Abu Jaib, Al-Qamus Al-Fiqhi, hal. 279).
  • Menurut Syaikh Sa’di Abu Jaib : Ghibah adalah kamu menyebut saudaramu di belakangnya mengenai aib-aib yang ditutupinya dan ia menganggap buruk jika disebutkan; jika itu benar namanya ghibah, jika itu dusta namanya bohong. (Sa’di Abu Jaib, al-Qamus Al-Fiqhi, hal. 279; Al-Mu’jamul Wasith, hal. 667).
  • Menurut Syaikh Rawwas Qal’ahjie : Ghibah adalah pemberitahuan tentang keburukan-keburukan seseorang. (Rawwas Qal’ahjie, Mu’jam Lughah Al-Fuqaha`, hal. 33).

Baca Juga: Ingin Terhindar Dari Sifat Suka Pamer? Lakukan Hal-Hal Berikut

Hukum Ghibah

Hukum ghibah adalah haram, sesuai firman Allah SWT:

  • Janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian lainnya, sukakah salah seorang kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati maka pasti kamu membencinya.” (QS Al-Hujurat : 12).
  • Hukum ghibah adalah haram, sesuai sabda Nabi SAW : “Janganlah kamu saling mendengki, saling membenci, dan saling memusuhi. Janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (Hadis Shahih) (lihat Ibnu Abi Dunya, Ash-Shumtu wa Adabul Lisan, hal. 300)
  • Hukum ghibah adalah haram, sesuai sabda Nabi SAW: “Setiap muslim haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya.” (Hadis Shahih) (lihat Ibnu Abi Dunya, Ash-Shumtu wa Adabul Lisan, hal. 299)

Ghibah yang Dihalalkan

  • Hukum asal ghibah adalah haram, namun dihalalkan pada kasus tertentu sebagai perkecualian berdasarkan dalil-dalil syar’i.
  • Ibnu Abi Dunya dalam kitabnya Ash-Shumtu wa Adabul Lisan setelah menerangkan bab haramnya ghibah, membuat bab yang berjudul:

Bab Ghibah Yang Halal Dibicarakan bagi Orang Yang Menggibah

  • (Ibnu Abi Dunya, Ash-Shumtu wa Adabul Lisan, hal. 335). Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Adzkar setelah menerangkan bab haramnya ghibah, juga membuat bab serupa dengan judul:

Baca Juga: Masjid Istiqlal, Masjid Terbesar se-Asia Tenggara

Bab Penjelasan Mengenai Apa Saja Ghibah yang Dibolehkan

  • (Imam Nawawi, Al-Adzkar, hal. 292). Ibrahim an-Nakha`i RA (seorang tabiin) berkata: “Tiga perkara yang mereka tidak menganggapnya ghibah: imam yang zalim, orang yang berbuat bid’ah, dan orang fasik yang terang-terangan dengan perbuatan fasiknya.”
  • (Ibnu Abi Dunya, Ash-Shumtu wa Adabul Lisan, hal. 337). Umar bin Khaththab RAٌ berkata: “Orang yang fajir (tidak taat) tidak memiliki kehormatan (boleh di-ghibah).” (Ibnu Abi Dunya, Ash-Shumtu wa Adabul Lisan, hal. 342).
  • Al-Hasan RA (seorang tabiin) berkata: Tiga orang yang boleh ghibah padanya : orang yang mengikuti hawa nafsu, orang fasik yang terang-terangan dengan kefasikannya, dan imam yang zalim. (ibid, h. 343)
  • Imam Nawawi dalam Al-Adzkar dan Riyadhush Shalihin juga menyebutkan 6 (enam) macam ghibah yang dibolehkan yaitu :
    1. Ghibah untuk mengadukan suatu kezaliman (at-tazhallum), maka boleh orang yang dizalimi mengadukan kezaliman yang dialaminya kepada penguasa atau hakim atau selain keduanya yang mempunyai kekuasaan atau kemampuan untuk menyelamatkannya dari orang yang menzaliminya, sehingga ia pun menjadi selamat dan tidak menjadi korban kezaliman dari orang yang berniat untuk berbuat. Misal: Korban kezaliman berkata, ”Fulan telah menzalimi saya, berbuat begini kepada saya, dst…” (Imam Nawawi, Al-Adzkar, hal. 292).
    2. Ghibah untuk meminta tolong (al-isti’anah) dalam rangka menghilangkan suatu kemungkaran dan juga agar dapat mengembalikan orang-orang yang telah berbuat maksiat agar dapat kembali ke jalan yang benar. Misal: Seseorang berkata kepada orang yang diharapkan mempunyai kemampuan utk menghilangkan kemungkaran, ”Si Fulan telah berbuat begini dan begini, maka tolong peringatkan dia agar tidak melakukan perbuatan itu.” (Imam Nawawi,Al-Adzkar, hal. 292).
    3. Ghibah untuk minta fatwa (istifta`) misal seseorang berkata kepada mufti, ”Ayahku atau saudaraku telah menzalimiku, apakah mereka berhak berbuat demikian menurut syara’?” Atau, ”Suamiku berbuat demikian, apakah dibolehkan?” Atau dalam kasus ini jika ingin melakukan ghibah namun tidak ingin membuka aib orang tertentu, kita dapat melakukan perbuatan yang lebih berhati-hati dengan tidak melakukan ta’yin (menyebut nama tertentu), misal:“Seorang suami berbuat demikian kepada isterinya, bolehkah?” Meskipun yang dia maksud adalah suaminya sendiri, namun agar aib dan keburukan suaminya tidak terungkap apalagi jika orang yang dia ajak bicara sudah sangat kenal dengan suaminya, maka disana ia boleh tidak blak-blakan mengatakan jika itu suaminya, tetapi bisa cukup dengan kata “seorang suami” misalnya. Namun ta’yin boleh hukumnya secara syar’i. (Imam Nawawi, Al-Adzkar, hal. 292).
    4. Ghibah untuk memperingatkan (tahdziir) atau menasehati kaum muslimin agar tidak terjatuh dalam keburukan. Misal: Celaan yang dilakukan oleh ulama Jarh wa Ta’dil dalam ilmu hadits. Ini boleh menurut Ijma’, bahkan wajib karena ada hajat yang dibenarkan syara’. Misal: Ada orang minta nasehat (istisyarah) kepada kita ttg rencana pernikahannya dengan seseorang, boleh kita mengatakan,”Tidak baik kamu menikah dengannya,” atau menjelaskan secara jelas keburukan calon suami/isterinya. (Imam Nawawi, Al-Adzkar, hal. 293). Misal: Jika ada seseorang akan membeli barang dagangan yang ada cacatnya dan kita tahu, maka kita wajib menjelaskan cacatnya jika dia tidak mengetahuinya (Imam Nawawi, Al-Adzkar, hal. 293). Misal: Jika ada seorang mutafaqqih (sedang belajar fiqih) yang sering belajar kepada orang ‘alim yang berbuat bid’ah atau berbuat fasik, dan kita khawatir mutafaqqih itu dapat terpengaruh, maka kita wajib menasehati mutafaqqih itu, dengan syarat tujuan kita semata-mata nasehat, bukan karena dengki (hasad). (Imam Nawawi, Al-Adzkar, hal. 293). Misal: Jika ada seseorang yang mempunyai kekuasaan (wilayah), misalnya guberbur (wali) lalu dia terbukti tidak layak memegang kekuasaan itu atau dia terbukti fasik atau lalai, maka wajib kita menyampaikan hal itu kepada orang yang mempunyai kekuasaan umum (wilayah ‘ammah) seperti Khalifah, untuk menggantinya atau menghilangkan keburukannya. (Imam Nawawi, Al-Adzkar, hal. 293).
    5. Ghibah terhadap orang yang terang-terangan berbuat fasik atau bid’ah, seperti orang yang orang yang minum khamr secara terang-terangan. Boleh kita menyebutkan perbuatannya itu kepada orang lain. (Imam Nawawi, Al-Adzkar, hal. 293).
    6. Ghibah untuk memperkenalkan (at-ta’riif). Misalnya ada orang yang dikenal dengan nama “si Buta”, “si Tuli”, dsb, maka boleh menyebut nama-nama itu dengan niat untuk memperkenalkan, bukan dengan niat menjelek-jelekkan. Jika dengan niat menjelek-jelekkan hukumnya haram. (Imam Nawawi, Al-Adzkar, hal. 293).

Imam Nawawi berkata,”Itulah 6 (enam) jenis ghibah yang dibolehkan oleh para ulama, di antaranya seperti yang disebutkan oleh Imam Ghazali dalam Ihya` Ulumiddin.