(untuk bagian sebelumnya, bisa dilihat di link berikut: https://www.umroh.com/blog/hikmah-dilarangnya-hidup-boros-part-2/)
Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Orang yang terbiasa hidup dalam kemewahan, akan merasakan sulit menghadapi berbagai keadaan. Sebab, tidak menutup kemungkinan datang kepadanya persoalan-persoalan yang tidak memungkinkan orang tersebut menyelesaikannya dalam kenyamanan”.
Kemudian beliau rahimahullah juga telah memaparkan sebuah contoh yang sederhana. Yakni pada kasus seseorang yang tidak pernah berjalan dengan kaki telanjang tanpa alas kaki sama sekali. Orang yang selalu menggunakan sandal atau sepatu, bisa kita bayangkan jika suatu saat, ia berhadapan dengan sebuah kondisi yang mengharuskannya berjalan tanpa alas kaki meski hanya 500 meter saja, tentunya ia akan mengalami kesulitan yang berat. Bahkan mungkin saja kakinya bisa menjadi terluka bahkan lebih parah dari itu dikarenkana harus bergesekan dengan tanah.
Akan tetapi, bila ia telah membiasakan diri dalam hidupnya dengan cara-cara atau gaya hidup yang agak kurang nyaman, dan juga jauh dari fasilitas, maka ia akan dapat memperoleh kebaikan yang banyak. Selain itu, tubuh seseorang yang tidak terbiasa dengan hal-hal berat, tidak mempunyai ketahanan (imuniatas). Akibatnya mudah sakit, padahal baru berjalan tidak seberapa jauh.
Nilai positif lain dari cara hidup sederhana, dapat mendorong seseorang menjadi pribadi yang pandai bersyukur dan toleran, menghargai nikmat-nikmat Allah sekecil apapun. Karena masih banyak orang yang berada di bawahnya secara ekonomi. Dengan itu, keimanannya akan bertambah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْبَذَاَةَ مِنَ الْإيْمَانِ
Sesungguhnya hidup sederhana termasuk cabang dari iman.
Penutup
Al-i’tidâl atau wasath (memilih sikap tengah-tengah) merupakan spirit umum dalam Islam. Dalam konteks gaya hidup, berhemat memiliki keselarasan dengannya. Perilaku tersebut sangat bermanfaat, baik bagi individu maupun pemerintahan.
Meksi demikian, bukan berarti seorang muslim harus menghapus menu daging –umpamanya- yang sebenarnya terjangkau olehnya. Atau kemudian hanya membeli dan mengenakan baju-baju tambalan dan berpenampilan kumuh atau kotor.
Akan tetapi, seperti yang telah diungkapkan oleh Imam Ibnu Katsiir, bahwa janganlah engkau bakhil lagi kikir, sehingga membuat kita tidak mau memberi kepada siapapun. Dan jangan berlebihan dalam menggunakan uang, sehingga mengakibatkan pembelanjaannya di luar kemampuannya dan melebihi pendapatan yang diperolehnya. Karena dua hal ini menjadi sumber celaan.
Syaikh as Sa’di berkata, inilah sebuah keseimbangan dalam pengaturan uang, berada di antara sudut sifat bakhil dan pemborosan. Dengan begitu, urusan menjadi stabil dan sempurna. Sedangkan di luar ini, hanya berakibat dosa dan malapetaka, menunjukkan kekurangan akal dan kondisinya.
Oleh sebab itu, menilik manfaat yang begitu besar, anak-anak pun pantas untuk dilatih menjalani hidup dengan hemat dan bersahaya.