Umroh.com – Berpuasa artinya menahan nafsu (termasuk makan dan minum) sejak fajar hingga terbenam matahari. Keharusan untuk menahan makan dan minum ini menjadi syarat yang tidak mudah bagi para musafir. Jauhnya jarak, serta sulitnya medan di perjalanan membuat ibadah puasa terasa semakin berat. Bahkan terasa sulit untuk dituntaskan. Karena itu Allah menghadirkan hukum puasa musafir bagi yang melakukan perjalanan.
Baca juga : Dalil Tentang Hutang Wajib Menjadi Pedoman
Keringanan Berpuasa untuk Musafir
Musafir, atau orang yang sedang bepergian, termasuk golongan yang mendapat keringanan dalam mengerjakan puasa Ramadhan. Allah berfirman, “(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS.Al Baqarah: 184).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa musafir dibolehkan tidak berpuasa di bulan Ramadhan, lalu menggantinya di hari lain. Ini menunjukkan bahwa Allah menghendaki kemudahan bagi hamba-Nya.
Hukum Puasa bagi Musafir
Pada dasarnya, musafir dibolehkan tidak berpuasa untuk kemudian menggantinya di hari lain. Namun para ulama menjelaskan beragam hukum puasa bagi musafir.
1. Hukum Puasa Bagi Musafir Adalah Haram
Hukum puasa bagi musafir bisa menjadi haram jika diperkirakan dapat menimbulkan kerusakan pada dirinya, pada anggota tubuhnya, atau fungsi tubuhnya. Puasa bagi musafir menjadi haram jika dengan melakukan puasa tersebut seorang musafir akan mendapatkan bahaya, baik di masa kini, maupun di masa datang.
Jika dengan berpuasa ia akan mendapat bahaya, misalnya ia akan menderita sakit jika berpuasa, atau sakitnya akan bertambah parah jika berpuasa sambil melakukan perjalanan, maka ia diwajibkan untuk berbuka. Hal demikian juga berlaku jika seorang musafir mengkhawatirkan kondisi tubuhnya akan dalam bahaya jika tetap berpuasa. Jika itu yang terjadi, para ulama berpendapat bahwa berbuka puasa lebih baik baginya.
2. Hukum Puasa Bagi Musafir Adalah Makruh
Puasa menjadi makruh bagi musafir jika seseorang telah memenuhi syarat dibolehkan untuk tidak berpuasa. Syarat yang dimaksud adalah perjalanan yang ditempuh jaraknya sudah dibolehkan untuk meng-qasar sholat, perjalanan dilakukan untuk hal yang mubah (bukan untuk maksiat), serta perjalanan dilakukan di malam hari sebelum terbit fajar atau Subuh, dan melewati batas desa sebelum Subuh tiba. Musafir yang memenuhi syarat demikian disunnahkan untuk berbuka puasa. Ia boleh tidak berpuasa, dan kemudian menggantinya di hari lain.
Mulai hari ini kuatkan Niat mu kebaitullah dan wujudkan bersama Umroh.com!
[xyz-ihs snippet="Iframe-Package"]
3. Hukum Puasa Bagi Musafir Adalah Wajib
Umroh.com merangkum, musafir yang tidak memenuhi syarat dibolehkan tidak berpuasa tetap mendapat kewajiban untuk berpuasa. Musafir yang dimaksud ialah mereka yang menempuh perjalanan dengan jarak kurang dari 81 km (belum dibolehkan meng-qasar sholat), atau musafir yang melakukan perjalanan setelah Subuh dan telah menetap di suatu tempat.
4. Puasa Lebih Utama bagi Musafir
Seorang musafir yang telah memenuhi syarat, namun tidak merasa berat atau kesulitan untuk berpuasa (kuat untuk berpuasa), dan tidak ada bahaya yang ditimbulkan dengan berpuasa. Para ulama menilai bahwa jika dalam kondisi demikian, berpuasa lebih utama untuk dilakukan, sebagaimana firman Allah di surat Al Baqarah ayat 184, “Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”.
Hal demikian juga yang menjadi acuan bagi masyarakat modern, yang kini telah mendapat banyak kemudahan di bidang transportasi, sehingga perjalanan tidak lagi terasa berat dan membahayakan. Perjalanan yang sangat jauh pun kini bisa terasa nyaman dengan hadirnya moda transportasi seperti pesawat, atau kereta dan bus yang full AC. Jika perjalanan tidak memberatkan walaupun sudah memenuhi syarat, serta tidak ada bahaya untuk berpuasa, maka puasa tetap lebih utama untuk dilakukan.
Rasulullah Berpuasa di Dalam Perjalanan
Dalam hal berpuasa ketika menjadi musafir, kita bisa meneladani Rasulullah yang tetap berpuasa Ramadhan walaupun sedang melakukan perjalanan ketika cuaca terik. Saat itu, memang ada juga para Sahabat yang berbuka, dan ada juga yang berpuasa, termasuk Rasulullah.
Dituturkan Abu Darda’, yang mengisahkan ketika para Sahabat sedang melakukan perjalanan bersama Rasulullah, “Kami pernah keluar bersama Rasulullah di bulan Ramadhan dalam cuaca yang panas terik, sehingga ada sebagian dari kami yang terpaksa meletakkan tangan di atas kepala bagian dari kami yang terpaksa meletakkan tangan di atas kepala untuk berlindung dari panas matahari.
Di kalangan kami tidak ada yang berpuasa selain Rasulullah dan Abdullah bin Rawahah.” (HR.Muttafaq ‘alaih). Para ulama berpendapat bahwa mereka yang tetap berpuasa di dalam perjalanan sejatinya mengikuti langkah Rasulullah, karena berpuasa adalah lebih baik.
Tetap berpuasa juga dinilai akan membuat kita lebih cepat terbebas dari tanggung jawab, tanpa perlu berutang puasa. Selain itu, puasa yang dilaksanakan bersama-sama dengan yang lain di bulan Ramadhan akan terasa lebih ringan. Namun, jika berpuasa dalam perjalanan akan memberatkan atau membahayakan, kita tetap diperbolehkan untuk berbuka, untuk kemudian diganti di hari lain.
Punya rencana untuk berangkat umroh bersama keluarga? Yuk wujudkan rencana Anda cuma di umroh.com!
Memaksakan berpuasa dengan kondisi yang berat juga tidak diperbolehkan oleh Rasulullah. Beliau pernah melihat seorang laki-laki yang lemas dan orang-orang berkerumun di sekitarnya. Beliau bertanya, “Mengapa dia?” Mereka menjawab, “Berpuasa.” Beliau bersabda, “Tidak baik puasa dalam perjalanan.” (HR.Bukhari dan Muslim).