Munculnya azzam sebelum menikah memang perkara penting. Tanpa azzam, seseorang kadang maju-mundur dalam proses menuju pernikahan. Misal, ragu apakah mampu menikah di saat belum merasa mapan. Atau khawatir karena sedang menempuh studi. Atau karena ada halangan dari orang tua yang meminta untuk mendapatkan pekerjaan terlebih dahulu. Atau merasa ingin fokus di dakwah saja dulu.
Nah hal-hal semacam ini biasanya hanya muncul pada seseorang yang azzam menikahnya belum kuat. Kalau memang belum siap untuk menikah, sebaiknya jangan memaksakan. Tetapi di saat yang bersamaan juga harus mempersiapkan diri.
Berbicara tentang azzam menikah, bukan bicara masalah usia muda atau sudah tua. Banyak yang sudah cukup berumur misal usia 30 tahunan tetapi azzam menikahnya masih belum ada. Ada pula yang masih usia 20 tahunan namun sudah kuat azzamnya untuk menikah. Jadi azzam menikah itu kaitannya dengan keimanan dan ilmu.
Apa Itu Azzam?
Azzam adalah keinginan yang tegas tanpa keraguan. Termasuk keraguan adalah masih menyangsikan kesanggupan diri untuk menikah dengan kondisi-kondisi tertentu. Sebab, tidak boleh ada kekhawatiran dan ragu-ragu sedikit pun. Dalam Kitab Risalah Khitbah disebutkan azzam ini sesuatu yang harus ada sebelum pernikahan. Jika tidak ada atau tidak kuat azzamnya, bisa saja akan memunculkan masalah di kemudian hari.
Misalnya, merasa ingin menikah namun dengan banyak keraguan. Takut tidak bisa menafkahi istrinya kelak, takut tidak bisa menyajikan masakan untuk suaminya nanti, takut tidak bisa membagi waktu antara dakwah dan rumah tangga, dan sebagainya. Keraguan seperti itu tidak menghasilkan niat yang kuat, dan akhirnya hanya mencari-cari alasan agar menunda pernikahan.
Cara Menguatkan Azzam
– Pelajari Ilmu Pernikahan dan Rumah Tangga
Bagi seseorang yang memang azzam menikahnya belum terbentuk atau belum kuat, sebaiknya tidak mencari-cari alasan agar menunda pernikahan. Sebaliknya, berusahalah untuk mendalami ilmu seputar pernikahan. Agar semakin siap, bukan semakin kendur.
Ilmu tentang pernikahan itu amatlah luas. Ada hak dan kewajiban suami istri yang di dalam Islam wajib kita ketahui sebelum menikah. Bukan hanya sekadar tahu, tapi juga dipikirkan dan dipraktekkan nanti setelah menikah.
Ilmu seputar rumah tangga pun beraneka macam. Ilmu mendidik anak salah satunya. Kita harus mampu menguasainya ketika sudah punya anak nanti. Kalau tidak paham ilmu mendidik anak, maka sangat wajar muslimah yang baru menikah mengalami baby blues berkepanjangan. Sampai sedetail-detailnya, ilmu kehamilannya, pra dan pasca melahirkan, mengurus bayi, menanamkan aqidah pada anak batita dan balita, dan sebagainya. Mengurus bayi saja, sangat kompleks.
Jangan remehkan setiap muslimah yang menjadi ibu ya… Sebab dia setingkat lebih berpengalaman daripada yang belum menikah atau belum memiliki anak. Repotnya memandikan anak (apalagi yang baru lahir, di saat sang ibu pun masih lemah kondisinya), mengganti popok berkali-kali, menyusui dan sebelumnya harus demam dulu dalam proses produksi ASI pada kelenjar payudara ibu, bangun di tengah malam untuk menyusui bayi, dan seabrek urusan dengan bayi ini butuh ilmunya.
Ilmu rumah tangga juga seputar mencuci piring dan pakaian dengan bersih. Tidak sedikit muslimah yang tidak sanggup mencuci dengan alasan tangannya lecet atau nyeri. Atau ia bisa mencuci, tetapi tidak bersih. Hal remeh temeh seperti ini juga butuh ilmu, Dear…
Membersihkan rumah juga ilmu yang penting dikuasai. Jangan sampai kita menjadi istri yang hanya bisa memenuhi kewajiban melayani suami di kasur saja. Tetapi urusan dapur, nggak ngepul. Sumur pun tak terurus.
– Contohlah Para Shahabiyah
Bagi kita perempuan muslimah, bacalah buku-buku istri para khalifah, siroh shahabiyah, dan sejenisnya. Supaya kita memahami potret para shahabiyah di masa Rasulullah.
Nah, janganlah mematok ukuran tertentu (tolok ukur perbuatan) itu dari masyarakat pada umumnya. Tetapi jika memang ingin mengambil contoh, ambillah dari para shahabiyah. Misal dalam mematok ukuran kesiapan menikah, jangan mematoknya dari akhwat-akhwat umum saat ini. Patoklah dari gambaran para shahabiyah dahulu. Yakni, kesiapan yang berdasarkan keimanan, bukan nafsu.
– Jangan Galau dan Jangan Baper
Jika kita tengok sejarah, para shahabiyah adalah orang-orang yang memiliki keimanan yang teguh pada Islam. Menjaga diri dan terbentuk kedewasaannya. Tidak sama dengan akhwat-akhwat yang biasa kita lihat saat ini.
Sebab, mereka nggak baper-baperan kalau ada temennya merid. Atau galau-galauan kalau ikhwan idamannya nikah sama orang lain. Dan semisalnya..
Mereka memiliki kesabaran yang membentuk kematangan sikap. Sehingga sangat wajar banyak shahabiyah di usia 18 tahun namun sudah menjadi janda. Namun kedudukannya sangat terhormat. Di usia semuda itu mereka sanggup merasakan pahitnya ditinggal berjihad dan syahid di jalan-Nya. Mereka bermental kuat. Tak sepadan dengan wanita-wanita zaman sekarang, yang baru beberapa hari ditinggal suaminya ke luar kota untuk mencari nafkah, sudah galau habis.
– Dekatilah Orang-orang yang Sukses dalam Pernikahannya
Lihat sekitar kita. Orang terdekat yang memiliki banyak pengalaman dalam membangun rumah tangga, adalah orang tua kita. Dekati mereka. Banyak-banyaklah bertanya pada mereka. Kalau kita bertanya dengan elegan, mereka tidak akan menggoda kita. Justru akan mendukung dan mendoakan. Jadi bertanya harus elegan ya, jangan ngawur alias asal nanya.
Selain orang tua, bisa kita bertanya ke kakak, adik (yang sudah menikah lebih dulu), atau kerabat lainnya. Juga bisa bertanya pada teman yang sudah menikah. Atau guru-guru kita yang sudah pasti bukan hanya pengalaman, tetapi ilmunya mantap dan bisa kita pelajari. Carilah orang yang tepat untuk bis kita berbagi dengannya. Dan ingat, bertanya harus dengan elegan. Supaya kita bukan malah jadi bahan untuk digoda-godain saja.
– Menyicil Persiapan Menikah
Mencoba untuk rajin menabung untuk biaya pra dan pasca pernikahan, salah satu contohnya. Menabung itu bisa dalam bentuk uang atau pun barang. Nah, kita bisa menyiapkan tabungan khusus yang kita siapkan untuk pernikahan kita nanti. Di saat sudah menikah misalnya, dan mengalami sedikit goncangan dalam finansial rumah tangga (yang sangat wajar dialami para pengantin baru), kita bisa membuka tabungan kita. Lihatlah suami kita akan tersenyum berseri-seri mensyukuri istrinya yang pandai menyenangkan hati suaminya…
Selain uang, kita juga bisa menabung dengan barang. Misalnya dengan membeli perabot rumah tangga. Jika kita bekerja sebelum menikah, atau uang jajan jatah dari orang tua bagi yang belum menikah, sisihkanlah uang tersebut untuk membeli barang-barang keperluan nanti setelah menikah.
Buatlah list barang-barang itu. Diantaranya barang seperti sendok, piring, sprei, selimut, kasur, lemari, meja, gayung, rak-rak atau box-box untuk merapihkan barang-barang. Bahagia bukan, jika kita bisa meringankan suami kita nanti? Ini bisa menjadi kejutan kecil yang akan semakin mengharmoniskan keluarga baru kita.