– Kesaksian Abu Bakar Shiddiq RA
Kemudian bukti lagi dari kejujuran yang dilakukan oleh Rasulullah dapat kita perhatikan juga dari kesaksian beberapa sahabat beliau. Salah satu sahabat beliau adalah sahabat yang dari sejak kecil bermain bersama-sama, tumbuh remaja hingga dewasa, yakni Abu Bakar RA.. Sahabat ini dalam setiap keadaan senantiasa membenarkan beliau dan hanya melihat dan mendengar beliau saw. sebagai seorang yang senantiasa menekankan akan kebenaran. Oleh karena itu di dalam benak beliau sama sekali tidak dapat terbayangkan bahwa Rasulullah dapat mengucapkan kata-kata dusta.
Sebagaimana yang telah tertera dan juga dijelaskan dalam sebuah riwayat bahwa Abu Bakar RA pada saat mendengar pendakwaan beliau sebagai Nabi, maka kendati berbagai penjelasan telah diberikan oleh Rasulullah SAW, tetapi pada dasarnya Abu Bakar RA tidaklah meminta argumentasi. Mengapa bisa demikian? Hal itu tentu saja disebabkan karena sepanjang hidup beliau, Abu Bakar RA selalu menyaksikan bahwa Nabi Muhammad SAW senantiasa berkata jujur.
Beliau hanya bertanya kepada Rasululah SAW bahwa apakah benar beliau SAW telah mendakwakan diri sebagai nabi? Maka Rasulullah juga ingin terlebih dulu memberikan sebuah penjelasan, akan tetapi selalu saja dalam setiap kali ingin memberikan keterangan, inilah yang beliau tanyakan bahwa “Berilah jawaban kepada saya ya atau tidak”. Atas jawaban ya yang Rasulullah SAW berikan, beliau mengatakan:
“Di hadapan saya terbentang seluruh kehidupan Tuan di masa lalu. Oleh karena itu bagaimana saya bisa dapat mengatakan bahwa seorang hamba Allah yang senantiasa berkata benar tiba-tiba menjadi orang yang berdusta kepada Tuhan?” (Dalaailunnubuwwah lil Baihaqi jilid 2 hlm. 164 darul kutub alilmiyyah Bairut)
– Kesaksian Pihak Lawan
Tidak hanya diakui oleh para sahabat dan juga keluarga terdekat saja, akan tetapi sangat luar biasa sekali bahwa kejujuran Rasulullah SAW diakui juga oleh musuh-musuh beliau sendiri. Akan tetapi pengakuan kejujuran yang dilontarkan oleh musuh-musuh Nabi Muhammad tidaklah sama dan berbeda dengan pengakuan kejujuran yang dilontarkan oleh para sahabat Nabi Muhammad. Tidak seperti halnya para sahabat layaknya Abu Bakar Siddiq yang menerima beliau dengan suatu pemikiran yang dilandasi hati yang bersih – yaitu seseorang yang selalu berkata benar maka tidak mungkin dia tiba-tiba berdusta untuk hal yang sangat besar yaitu berdusta atas nama Tuhan – para musuh Rasulullah SAW kendati di satu sisi mengakui kejujuran dan kelurusan Rasulullah SAW, tetapi mereka tetap saja tidak bisa menangkap rahasia dibalik pengakuan kejujuran dari mereka tersebut.
Salah satu contohnya adalah ketika terjadi suatu peristiwa usaha stigmatisasi pada diri Nabi Muhammad SAW. Pada saat itu para pemuka Quraisy sedang berkumpul yang mana di dalamnya terdapat Abu Jahal dan juga musuh yang paling besar beliau yang bernama Al-Akhdhar bin Haris. Salah seorang kemudian berkata bahwa hendaknya Rasulullah SAW dianggap sebagai tukang sihir atau beliau juga dinyatakan sebagai seorang yang pendusta, maka Nadhar bin haris berdiri lalu berkata,
“Hai kelompok Quraisy! Kalian terperangkap dalam suatu masalah yang untuk menghadapinya tidak ada cara yang kalian dapat tempuh. Muhammad (saw) di antara kalian adalah seorang pemuda yang kalian paling cintai, merupakan pemuda yang paling benar dalam ucapan. Di antara kalian merupakan orang yang paling jujur. Kini kalian telah melihat tanda-tanda umur di keningnya dan amanat yang dibawanya dan kalian mengatakan bahwa itu adalah sihir? Di dalam dirinya tidak ada bau-bau sihir. Kamipun telah melihat tukang tenung. Kalian mengatakan bahwa dia adalah seorang theosopi (yang berbicara dengan jin/kahin), kamipun telah melihat theosopi (tukang jin/kahin). Dia sama sekali bukanlah ahli teosopi (kahin). Kalian mengatakan bahwa dia adalah seorang penyair. Dia sama sekali bukanlah seorang penyair. Kalian mengatakan bahwa dia adalah orang gila, tetapi di dalam dirinya sama sekali tidak ada tanda-tanda orang gila. Hai kelompok Quraisy, renungkanlah, kalian tengah berhadapan dengan suatu masalah yang besar”. (Assiratunnabawiyyah li-ibni Hisyam hlm. 224. )