(untuk bahasan sebelumnya, dapat melihat di link berikut: https://www.umroh.com/blog/inilah-beberapa-sifat-penghuni-surga-yang-wajib-kamu-tahu-part-1/)
Kemudian disebutkan sifat mereka lainnya dengan firman-Nya: wayakhâfûna yawm[an] syarruhu mustathîr[an] (mereka takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana). Mereka takut akan kedatangan suatu hari yang keburukannya merata di mana-mana. Hari yang dimaksudkan dalam ayat ini tak lain adalah hari Kiamat.
Adapun syarruhu bermakna azab-Nya.
Lalu kata mustathîr[an], menurut Ibnu Abbas, bermakna fâsyi[an] (merata, menyebar).
Muqatil berkata, “Keburukannya menyebar ke langit sehingga langit terbelah, bintang-bintang berhamburan, dan para malaikat terkejut. Adapun di bumi, gunung-gunung hancur dan air meluap.”
Mereka merasa takut terhadap siksa Allah yang akan menimpa mereka pada hari itu lantaran mereka tidak memenuhi nazar yang telah mereka janjikan dan berbagai kewajiban lainnya.
Rasa takut itu mendorong mereka taat kepada Allah SWT dengan menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Mereka takut akan ditimpa keburukannya sehingga meninggalkan segala sesuatu yang menyebabkan mereka mendapatkan keburukannya.”
Kemudian Allah SWT berfirman: wa yuth’imûna al-tha’âm ‘alâ hubbihi miskîn[an] wa yatîm[an] wa asîr[an] (dan mereka memberikan makanan yang mereka sukai kepada orang miskin, anak yatim dan tawanan). Ayat ini menambahkan sifat mereka yang lain. Mereka memberikan makanan yang mereka sukai kepada orang-orang miskin, anak-anak yatim dan para tawanan.
Menurut sebagian mufassir, dhamîr dalam ayat ini merujuk pada makanan yang mereka berikan. Artinya, mereka memberikan makan kepada orang-orang miskin berupa makanan yang mereka sukai. Di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu Katsir, al-Alusi, Mujahid, dan Muqatil.
Menurut Ibnu Katsir, pengertian tersebut semakna dengan QS al-Baqarah [2]: 177 dan Ali Imran [3]: 92).
Selain makanan yang diberikan adalah makanan yang mereka sukai, mereka juga selektif terhadap orang yang diberi, yakni orang-orang paling memerlukan. Dalam ayat itu disebutkan ada tiga golongan, yakni orang-orang miskin, anak-anak yatim dan orang-orang yang menjadi tawanan.
Kemudian diberitakannya alasan dan juga motif yang melatarbelakangi perbuatan mereka: Innamâ nuth’imukum li wajhiL-lâh (Sungguh kami memberikan makanan kepada kalian hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah). Kalimat itu memiliki arti, dimana mereka memberikan makanan tersebut karena didorong oleh keinginan untuk mendapatkan ridha Allah SWT.
Lalu ditegaskan lagi: Lâ nurîdu minkum jazâ‘[an] (Kami tidak menghendaki balasan dan ucapan terima kasih dari kalian). Ini merupakan suatu penegasan terhadap kalimat sebelumnya. Sebab orang yang memberikan makan karena mengharap ridha Allah SWT, tentunya tidak mengharapkan balasan dan meminta orang yang diberi makan ucapan terima kasih kepada dirinya.
Dengan demikian mereka tidak mengharapkan suatu balasan dari orang yang diberi, baik balasan itu berupa jazâ‘[an] maupun syukûr[an]. Menurut penjelasan yang dipaparkan oleh Abdurrahman as-Sa’di, kata jazâ‘[an] disini berarti imbalan materi, sedangkan kata syukûr[an] merupakan pujian lisan.
(bersambung ke part 3)