Sebelumnya patut diperjelas terlebih dulu fakta (manath) yang dipahami mengenai jilbab syar’i, yaitu bukan sebuah kerudung (khimaar). Melainkan busana wanita yang longgar yang dipakai di atas baju rumahan (seperti daster dan lain-lain), yang menutupi seluruh tubuh dan terulur hingga kedua kaki, sehingga bagian atas dan bawah menjadi satu dan tidak terpisah layaknya baju & celana/rok.
Yang dimaksud pada pembahasan kali ini adalah, jika busana tersebut tak terbuat dari satu kain terusan, melainkan dari dua kain yang dijahit atau disambung menjadi satu. Misalkan saja bagian atasnya warna putih, sedang bagian pinggang ke bawah berwarna abu-abu (seperti seragam siswi SMU). Inilah yang harus dipahami.
.
Bolehkah memakai jilbab potongan seperti itu? Jawabannya terdapat dua poin sbb;
Pertama, boleh hukumnya jilbab seperti potongan tersebut dikenakan oleh Muslimah karena sudah termasuk jilbab syar’i. Kedua, sebaiknya seorang Muslimah tak mengenakan jilbab seperti potongan itu karena ada unsur syubhat, kecuali dia dapat memberikan klarifikasi untuk menghilangkan syubhat tersebut.
.
Mengenai poin pertama, yakni jilbab seperti potongan itu boleh dipakai, dikarenakan jilbab seperti potongan itu sudah masuk definisi jilbab syari yang diwajibkan Allah SWT dalam Al Ahzab [33]: 59. Tafsiran jilbab” dalam ayat tersebut menurut Syekh Wahbah Zuhaili adalah baju panjang (al mula ah) yang dipakai perempuan seperti gamis, atau baju yang menutup seluruh tubuh. (Wahbah Zuhaili, At Tafsir Al Munir fi Al ‘Aqidah wa Al Syari’ah wa Al Manhaj, 22/114).
.
Para ulama juga menafsirkan istilah “jilbab” dalam makna yang yang serupa. Dalam kamus Al Mu’jamul Wasith disebutkan jilbab adalah baju yang menutupi seluruh tubuh (al tsaub al musytamil ‘ala al jasadi kullihi) Jilbab juga diartikan apa-apa yang dipakai wanita di atas baju-bajunya seperti milhafah (mantel/baju kurung.
.
Dengan demikan, jilbab seperti potongan yang ditanyakan hukumnya boleh, berdasarkan kemutlakan ayat jilbab diatas, karena tidak terdapat dalil taqyiid dari Al Qur’an maupun As Sunnah yang mensyaratkan jilbab itu wajib terbuat dari satu potong kain saja. (Lihat: Taqiyuddin An Nabhani, Al Nizham Al Itima’i fi Al Islam, hlm. 46; Nashiruddin Al Albani, Jilbab Al Mar’ah A Muslimah fi Al Kitab wa Al Sunnah, Damaskus : Darus Salam, 2002, hlm. 37;Abu Thalhah M. Yunus Abdus Sattar, Libas Ar Rasul wa Al Shahabat wa Al Shahabiyyat, hlm.91- 98).
.
Kaidah ushul fiqih dalam masalah ini menetapkan: al muthlaqu yajriy ‘alaa ithlaaqihi maa lam yarid dalilun yadullu ‘ala at taqyiid. (dalil yang mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak terdapat dalil yang menunjukkan taqyid (penetapan batasan/syarat). (Wahbah Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al lslami, Juz 1 hlm. 208).
.
Adapun poin kedua, bisa dikatakan sebaiknya seorang Muslimah tidak mengenakan jilbab seperti potongan itu, karena terdapat unsur syubhat, yaitu adanya isytibah (kesamaran) bagi orang yang melihatnya, karena seakan-akan jilbab tersebut tidak sesuai syariah. Yaitu jilbab itu akan nampak sebagai dua potong baju terpisah, bukan satu potong sebagai satu kesatuan. Jadi orang akan menduga baju atas (gamis) yang dipakai tidak terulur sampai bawah (kaki) sebagaimana diwajibkan syariah, tapi hanya terulur sampai padahal pinggang. Padahal hakikatnya tidak demikian.
.
Dalam kondisi seperti ini, sebaiknya jilbab potongan seperti itu tidak dipakai kecuali pemakainya dapat memberikan klarifikasi untuk menghilangkan syubhat tersebut. Selain itu, dalam kasus seperti ini pakaian atau busana yang digunakan tetaplah harus longgar dan tidak ketat, sehingga dapat menutupi lekuk tubuh wanita tersebut.
Disamping itu pula, kerudung/khimar yang digunakan tetaplah harus panjang dan diulur ke bawah, bukannya diikatkan ke belakang, sehingga dengan demikian, apabila busana jilbabnya terdiri dari potong, itu dapat menutupi bagian atasnya, sehingga tidak membuatnya nampak seperti dua potong.
Dalilnya hadits shahih bahwa Shafiyah binti Huyyai RA salah seorang istri Nabi SAW pernah mengunjungi Nabi SAW yang sedang i’tikaf di malam hari pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. Ketika keduanya hendak keluar dan sampai di pintu masjid, ada dua orang laki-laki Anshar yang melihat mereka. Maka Nabi SAW berkata kepada mereka,”Wanita ini tidak lain adalalh Shafiyyah binti Huyyai [istri saya sendiri]” (HR Bukhari & Muslim). Wallahu a’lam.