(untuk bagian certia sebelumnya, bisa dilihat di link berikut: https://www.umroh.com/blog/inilah-salah-satu-bukti-keadilan-rasulullah-dalam-penegakan-hukum-islam-part-1/)
Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani (w. 852 H) ketika menjelaskan hadits serupa di atas (riwayat Imam al-Bukhari) menuturkan:
وَسَبَبُ إِعْظَامِهِمْ ذَلِكَ خَشْيَةُ أَنْ تُقْطَعَ يَدُهَا لِعِلْمِهِمْ أَنَّ النَّبِيّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُرَخِّص فِي الْحُدُود ، وَكَانَ قَطْع السَّارِق مَعْلُومًا عِنْدهمْ قَبْل الْإِسْلَام ، وَنَزَلَ الْقُرْآنُ بِقَطْعِ السَّارِق فَاسْتَمَرَّ الْحَال فِيهِ
Dan penyebab kekhawatiran mereka (orang-orang Quraisy) adalah ketakutan akan dipotongnya tangan wanita ini, karena mereka menyadari bahwa Nabi ﷺ tidak akan meringankan sanksi hudud. Dan dahulu, sanksi potong tangan bagi pencuri sudah lumrah di antara mereka sebelum turunnya Islam, dan turunlah Al-Qur’an yang mensyari’atkan sanksi potong tangan bagi pencuri, maka sanksi ini tetap berlangsung.
Dalam hadits yang mulia ini, ada beberapa hal yang menguatkan larangan meminta pengampunan terhadap sanksi ini (termasuk memusyawarahkan apakah dilaksanakan atau tidak):
Pertama, Usamah bin Zaid r.a. menyampaikan kasus ini kepada Rasulullah ﷺ untuk meminta pengampunan. Karena makna kalimat:
(فَقَالُوا مَنْ يُكَلِّم فِيهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ)
“Siapa yang berani mengadukan permasalahan ini kepada Rasûlullâh ﷺ?”
Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani menjelaskan maknanya:
أَيْ يَشْفَع عِنْده فِيهَا أَنْ لَا تُقْطَعَ إِمَّا عَفْوًا وَإِمَّا بِفِدَاءٍ
“Yakni pengampunan dari Rasulullah ﷺ terhadap pencurian ini agar tidak disanksi potong tangan apakah dimaafkan atau diganti dengan denda.”
Permintaan yang disampaikan Usamah bin Zaid r.a. ini, membuat merah wajah Rasulullah ﷺ, lantas beliau ﷺ menjawab:
(فَقَالَ : أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُود اللَّه)
“Apakah engkau hendak meminta keringanan terhadap sanksi hudûd Allâh?!”
Dan makna jawaban Rasulullah ﷺ di atas, meski bernada pertanyaan namun maksudnya adalah pengingkaran (al-istifhâm al-inkâri), dalam ilmu balaghah ini termasuk istifhâm balâghi yang menunjukkan larangan, dan tidak membutuhkan jawaban (istifsâr), sebagaimana dijelaskan Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani:
بِهَمْزَةِ الِاسْتِفْهَام الْإِنْكَارِيّ لِأَنَّهُ كَانَ سَبَقَ لَهُ مَنْعُ الشَّفَاعَةِ فِي الْحَدّ قَبْل ذَلِكَ
“Yakni hamzah bernada pertanyaan yang bermakna pengingkaran, karena telah ditetapkan sebelumnya larangan meminta pengampunan terhadap sanksi had.”
Kedua, Usamah bin Zaid menyadari bahwa perbuatannya tersebut keliru, hingga beliau meminta agar Rasulullah ﷺ memintakan ampunan kepada Allah untuknya, ia berkata:
اسْتَغْفِرْ لِي يَا رَسُولَ الله
“Mohonkanlah ampunan bagiku wahai Rasulullah ﷺ.”
Ketiga, setelah peristiwa tersebut, pada sore harinya Rasulullah ﷺ berdiri dan berkhutbah dengan khutbah yang sangat kuat dan mendalam, karena makna اختطب dalam hadits di atas adalah:
خَطَبَ وبَالَغَ في الخطبة
“Berkhutbah namun bukan sembarang khutbah karena kuat dan mendalam dalam khutbah tersebut.”
Keempat, Dalam khutbahnya ini Rasulullah ﷺ mengabarkan penyebab kehancuran kaum-kaum sebelum kaum muslimin adalah tidak adil dalam menegakkan hukum mengundang murka dan siksa Allah ‘Azza wa Jalla. Sebagaimana dituturkan dalam syarh hadits ini:
سَبَّبَ لهم الهلاك وهو غَضَبُ الله وعقابُه
“Penyebab kehancuran mereka adalah kemurkaan dan siksa Allah SWT.”