Lima hingga tujuh Tahun terakhir nasib petani khususnya karet dan sawit sangat menyedihkan. Harga sawit dan karet yang rendah dan sangat fluktuatif (ada kenaikan sedikit namun tidak lama lagi turun lagi). Jeritan para petani pun sudah sampai ke telinga para pemimpin negeri ini baik level kabupaten, propinsi maupun nasional! Namun bak “katak merindukan bulan” atau bak “menggantang asap” nasib petani tak kunjung membaik. Justru fenomena ini dijadikan isu-isu seksi untuk “jualan politik”. Satu jawaban sama dari para pemimpin bahwa harga karet atau pun sawit dipengaruhi oleh kondisi ekonomi global. Dengan jawaban ini apakah gejolak petani akan redam? Ternyata Tidak!
Lalu diadakan solusi “aspal karet”. Ternyata karet yang diserap hanya kecil, 1 ton aspal butuh 4,2 kg karet mentah. Sementara proses nya lebih rumit serta harganya lebih mahal dibanding aspal saja. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian PUPR Danis H Sumadilaga mengatakan, “Pada tahun ini, pengaspalan campur karet mentah akan dilakukan di Sumatera Selatan (Sumsel) sepanjang 10 km. Aspal yang tercampur dengan karet memiliki kualitas yang lebih baik, dari sisi kekuatan terhadap retakan dan kelenturan lelehan. Namun memang, harganya jauh lebih mahal ketimbang aspal tanpa campuran karet. Dan untuk mencampur aspal dengan karet mentah dibutuhkan proses khusus. Produk yang ada dalam bentuk lateks atau karet padat itu tidak bisa langsung dicampurkan. Karena harus melalui proses pra pencampuran, sehingga mudah dicampur dengan aspal mixing plan”, katanya.
Sebaliknya, ahli konstruksi bangunan M. Syazili mengatakan bahwa proyek aspal karet akan gagal. Alih alih mengatasi persoalan-persoalan harga karet , yang ada petani karet akan gigit jari dengan janji-janji penguasa. Karena proyek aspal karet belum terbukti.
Disisi lain, nasib petani sawit pun masih terombang ambing dengan harga sawit yang semakin tak tertolong. Presiden Joko Widodo menyarankan kepada masyarakat yang sebelumnya berkebun kelapa sawit agar beralih menanam jengkol dan petai. Harga jual kelapa sawit yang menurun drastis di Indonesia, menjadi alasan Jokowi meminta petani beralih ke komoditas dengan harga terjangkau.
Mungkin ada yang dilupakan Presiden Joko Widodo, bahwa lahan yang telah ditanami sawit akan mengalami degradasi unsur hara yang disebabkan karena kelapa sawit merupakan tanaman yang rakus air yang setiap harinya membutuhkan air sebanyak 20–30 liter/pohon sehingga penyerapan air oleh akar tanaman kelapa sawit sangat besar dan menyebabkan jumlah produksi 3 kali lebih rendah jika dibandingkan dengan lahan yang belum pernah di tanami tanaman sawit. Terlebih Pete dan jengkol itu bukan kebutuhan pokok masyarakat.
Islamlah satu-satunya solusi yang mampu menjawab tantangan ekonomi global kapitalisme yang telah mengendalikan harga sawit dan karet hari ini. Mengapa? Karena Islam meletakkan garis garis besar perekonomian untuk mensejahterakan rakyat sebagai berikut:
– Pondasi mengurusi rakyat adalah pelayanan bukan bisnis. Pemimpin adalah pelayan bukan regulator apalagi kacung para kapital!. Maka pemimpin Islam akan mandiri dalam melayani rakyat nya.
– Islam meletakkan pondasi ekonomi diawali dengan memperjelas kepemilikan harta. Ada 3 kepemilikan: kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Dalam hal ini kepemilikan umum tidak boleh dikuasai negara terlebih dikuasai para kapital. Contoh air, listrik, tambang, hutan, danau, sungai,laut,dll. Rasulullah Saw bersabda : ” kaum muslimin berserikat pada air, api dan Padang gembalaan” .
Maka negara tidak dibolehkan menyerahkan hutan atau rawa untuk dialihfungsikan menjadi lahan perkebunan sawit atau karet untuk perusahaan ! Ingat bahwa Sumsel dan Jambi , perkebunan sawit (utamanya) dan karet banyak dikuasai oleh perusahaan besar.
– Kemandirian pangan dan energi dioptimalisasi, karena Islam mengharamkan bunuh diri politik atasnama investasi dan hutang luar negeri terutama kepada negara harbi ( negara yang memerangi kaum muslimin). Impor pangan dan energi akan diminimalisir itupun hanya dari negara yang terikat perjanjian dengan Islam. Sehingga pemimpin negara akan berupaya sekuat tenaga melakukan intensifikasi maupun ekstensifikasi pertanian/ perkebunan. Membiayai penelitian dan mengembangkan penemuan pertanian/perkebunan untuk kemaslahatan rakyat bukan perusahaan. Sehingga perekonomian rakyat meningkat. Misalnya, terkait Sawit dan karet, negara akan memperhatikan dari hulu sampai hilir. Dibangun Pabrik Karet atau Sawit hingga menghasilkan produk-produk siap pakai. Dan pabrik itu milik negara sendiri, bukan milik asing ataupun Aseng. Sehingga hasil karet maupun sawit akan terserap dan stabil.
– Pembudidayaan dan pengembangan tanaman pertanian dan perkebunan diprioritaskan untuk kemaslahatan rakyat terlebih dahulu. Misalnya untuk di Indonesia padi, jagung, kelapa, buah buahan tropis, atau kurma (mengingat kebutuhan kurma sangat tinggi karena mayoritas muslim). Jengkol dan Pete bukan kebutuhan utama jadi tidak prioritas.
Inilah gambaran bagaimana Islam menyelesaikan masalah petani sawit dan karet. Namun hal ini membutuhkan sistem politik dan pemerintahan yang kuat, mandiri, dan bersih. Sistem yang tidak hanya berfikir tentang kesejahteraan , namun juga berfikir tentang keridhoan Allah SWT, sang pemilik jagad raya ini. Sistem itu adalah syariah Islam yang akan terwujud secara integral dan paripurna dalam bingkai aturan syariat Islam. Wallahu’alam.