Umroh.com – Menjelang akhir Ramadhan, biasanya masjid-masjid tampak ramai di malam hari. Masjid diisi oleh orang-orang yang ingin beri’tikaf di sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Mereka melakukan i’tikaf demi mendapatkan lailatul qadar. Apa pengertian i’tikaf? Mari simak penjelasannya pada artikel kali ini.
Jumhur ulama berpendapat, i’tikaf sebenarnya ibadah yang dianjurkan untuk dilakukan setiap saat. Sementara tujuan i’tikaf ialah memusatkan hati dan pikiran kepada Allah, sehingga kita bisa menghadap-Nya secara khusyuk tanpa terganggu hal-hal duniawi. Jadi pengertian i’tikaf tak terbatas hanya dilakukan di bulan Ramadhan, atau di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan saja.
Anas bin Malik menuturkan, “Rasulullah beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan ketika dalam kondisi mukim. Apabila beliau bersafar, maka beliau beri’tikaf pada tahun berikutnya selama dua puluh hari” (HR.Ahmad).
Pengertian I’tikaf
Secara bahasa, pengertian i’tikaf ialah mendiami sesuatu, memenjarakan, atau menahan diri dari kegiatan-kegiatan yang biasanya dikerjakan. Sedangkan pengertian i’tikaf secara syar’i adalah berdiam diri di dalam masjid untuk beribadah kepada Allah.
Baca juga: Doa I’tikaf yang Wajib Dihafalkan Sebelum Ramadhan Tiba
Di kalangan ulama, pengertian i’tikaf ada bermacam-macam. Menurut ulama Syafi’iyah, i’tikaf artinya kegiatan menetap di dalam masjid yang dilakukan oleh orang tertentu dengan niat tertentu. Sementara ulama Hanabilah menjelaskan pengertian i’tikaf sebagai aktivitas menetapi masjid untuk taat kepada Allah, dan dengan syarat pelakunya seorang muslim, berakal, suci dari hadas besar, mumayiz, serta berdiam diri minimal selama satu jam. Kemudian ulama Malikiyah menyebutkan pengertian i’tikaf adalah kegiatan berdiam diri di dalam masjid.
Perintah I’tikaf
Umroh.com merangkum, perintah untuk melaksanakan i’tikaf tercantum di dalam Al Quran serta hadis. Di Al Quran Allah berfirman, “Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud.” (Al Baqarah: 125). “Dan janganlah kalian mencampuri istri-istri kalian, sedangkan kalian sedang beri’tikaf di masjid.” (QS.Al Baqarah: 187).
Rasulullah juga disebut biasa melakukan i’tikaf di bulan Ramadhan. Diriwayatkan dari Ibnu Umar, disebutkan bahwa Rasulullah melakukan i’tikaf di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan (HR.Muslim).
Aisyah r.a. juga menuturkan, “Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan hingga beliau wafat, kemudian para istri beliau beri’tikaf sepeninggal beliau.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Rasulullah melaksanakan i’tikaf untuk memperoleh lailatur qadar. Beliau bersabda, “Sungguh saya beri’tikaf di di sepuluh hari awal Ramadhan untuk mencari malam kemuliaan (lailat al-qadr), kemudian saya beri’tikaf di sepuluh hari pertengahan Ramadhan, kemudian Jibril mendatangiku dan memberitakan bahwa malam kemuliaan terdapat di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Barangsiapa yang ingin beri’tikaf, hendaklah dia beri’tikaf (untuk mencari malam tersebut). Maka para sahabat pun beri’tikaf bersama beliau.” (HR.Muslim).
Hukum I’tikaf
Ada dua macam hukum i’tikaf yang dijelaskan para ulama, yaitu sunnah dan wajib. Hukum sunnah muncul dari hadis riwayat Imam Muslim di atas. Disebutkan bahwa Rasulullah bersabda, “…Barangsiapa yang ingin beri’tikaf, hendaklah dia beri’tikaf (untuk mencari malam tersebut)…”.
Hukum i’tikaf menjadi wajib ketika ada orang yang bernadzar akan beri’tikaf. Nadzar wajib ditunaikan, sehingga nadzar seseorang untuk beri’tikaf harus dilaksanakan. Aisyah ra menuturkan bahwa Rasulullah bersabda, “Barangsiapa bernadzar untuk melakukan ketaatan kepada Allah, dia wajib menunaikannya.” (HR.Bukhari).
Diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari, ‘Umar r.a. pernah bertanya kepada nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Wahai Rasulullah, Sesungguhnya saya pernah bernadzar untuk beri’tikaf selama satu malam di Masjid al-Haram.” Beliau menjawab, “Tunaikanlah nadzarmu itu”.
Hukum dan Pengertian I’tikaf bagi Wanita
Sunnahnya i’tikaf bagi wanita berdasarkan pada keterangan di dalam Al Quran. Dijelaskan bahwa Maryam juga melaksanakan i’tikaf atau berdiam diri di mihrab. Sebagaimana dikisahkan, “Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab…” (QS.Ali Imran: 37).
I’tikaf yang dilakukan Siti Maryam memang merupakan syariat umat terdahulu. Dan para ulama berpendapat bahwa jika tidak ada dalil yang mengatakan bahwa syariat itu dihapus, maka ibadah tersebut boleh dilakukan.
Selain itu, istri-istri Rasulullah juga diizinkan melakukan i’tikaf. Diriwayatkan Imam Bukhari dari Aisyah r.a, Aisyah dan Hafshah memperoleh izin untuk beri’tikaf, sedang mereka berdua masih dalam keadaan belia saat itu. Namun ada juga hadis yang menyebutkan Rasulullah menyuruh istri-istri yang mengikuti beliau beri’tikaf untuk melepas tenda mereka (HR.Ibnu Khuzaimah).
Punya rencana untuk berangkat umroh bersama keluarga? Yuk wujudkan rencana Anda cuma di Umroh.com!
Selain itu, Aisyah ra juga menuturkan “Seandainya Rasulullah mengetahui apa kondisi wanita saat ini tentu beliau akan melarang mereka (untuk keluar menuju masjid) sebagaimana Allah telah melarang wanita Bani Israil.” (HR.Bukhari dan Muslim). Kedua hadis di atas menjadi dasar bagi ulama yang memakruhkan i’tikaf bagi wanita.
Pendapat mayoritas ulama menjelaskan bahwa hukum i’tikaf bagi wanita juga merupakan sunnah jika tidak terdapat fitnah baginya. Tetapi jika dikhawatirkan akan terjadi fitnah, maka wanita dilarang keluar rumah untuk menuju masjid.