Ketika Al Fatih berada di pengadilan tak kala ia mendapat pengaduan karena dinilai telah dzolim, di mahkamah itu ada seorang qadhi yang dikenal adil. Namanya Syaikh Shari Khidr Jalabi. Dialah yang kemudian mengadili kasus ini. Qadhi Syakh Shari Khidr Jalabi kemudian mengutus orang untuk memanggil Sultan Al Fatih untung datang ke pengadilan. Karena, walau sebagai Sultan, Al Fatih mendapat aduan dari seorang rakyatnya yang menuntut keadilan.
Mendapat panggilan dari qadhi, Sultan tak ragu menghadiri pengadilan itu. Ketika hari persidangan, Sultan Al Fatih pun masuk ke ruangan sidang. Sultan Al Fatih kemudian duduk di barisan tempat duduk yang disediakan. Tapi sikap Sultan itu kemudian dihardik oleh qadhi Syaikh Shari Khidr Jalabi.
“Anda tidak boleh duduk, Tuan!” hardik sang Qadhi, tanpa ragu. Sultan Al Fatih terkejut. Dia terdiam.
“Engkau harus tetap berdiri di samping lawan engkau itu,” tegas Qadhi lagi.
Sultan Al Fatih pun menurut. Sosok yang begitu disegani oleh belantara Eropa, diam seribu bahasa didepan sang Qadhi. Karena Al Fatih sangat mematuhi hukum Islam.
Kemudian Sultan Al Fatih berdiri berjejer dengan Epsalanti itu. Sang Insiyur itu kemudian membeberkan kedzaliman yang telah diterimanya itu. Ketika giliran Sultan berbicara, Al Fatih mendukung apa yang telah dijelaskan oleh sang Insiyur. Dia tak membantahnya.
Setelah Sultan Al Fatih selesai bicara, ia pun diminta berdiri. Qadhi Syakh Shari Khidr Jalabi berpikir sejenak. Tidak lama kemudian Qadhi itu mengeluarkan vonisnya untuk Sultan Al Fatih.
“Berdasarkan aturan-aturan Syariat, maka tangan Engkau juga harus dipotong sebagai bentuk qishash, wahai Sultan!”
Yang terkejut justru sang insinyur ketika mendengarkan putusan itu. Dia tak menyangka, seorang Sultan Islam, yang menunjuk Qadhi itu sebagai hakim, malah dikenakan hukuman potong tangan oleh qadhi itu sendiri.
Tubuh Epsalanti sampai bergetar mendengar putusan qadhi itu, atas kasus yang dilaporkannya. Sultan Al Fatih hanya terdiam sembari berdoa. Epsalanti sama sekali tak menyangka vonis seperti itu yang bakal dikeluarkan oleh qadhi. Padahal niat awal Epsalanti adalah dia menuntut ganti rugi karena tangannya telah dipotong.
Epsalanti kemudian bangkit. Dengan suara gemetar, tercekak dan terbata-bata, dia malah memutuskan untuk menarik kasusnya itu.
“Saya tak menyangka hasilnya seperti ini, saya memutuskan untuk menarik pengaduan saya terhadap Sultan,” tutur Epsalanti terbata-bata. Padahal Sultan Al Fatih sudah sangat menerima putusan itu. Karena hal itu merupakan konsekwensi yang harus ditegakkan bagi seorang muslim.
Epsalanti pun berujar lagi bahwa sesungguhnya dia berharap adanya ganti rugi belaka atas kasus yang dialaminya. Karena dia beralasan memotong tangan Sultan Al Fatih sama sekali tak member manfaat buat dirinya.
Karena permintaan Epsalanti yang seperti itu, Qadhi pun memutuskan agar Sultan Al Fatih membayarkan 10 keping Dinar kepada Epsalanti, sebagai ganti rugi atas memotong tangannya. 10 Dinar itu mesti dibayarkan Sultan Al Fatih setiap bulan kepada Epsalanti. Begitulah hukuman itu dijatuhkan.
Namun Sultan Al Fatih memutuskan untuk membayar 20 Dinar setiap hari sepanjang hidupnya kepada sang insinyur itu. Hal itu dilakukan Sultan Al Fatih sebagai hadiah atas ungkapan kegembiraannya karena lolos dari hukuman qishash dan bentuk penyelesaiannya atas kasus itu.
Begitulah sistem peradilan Islam. Kisah keadilan seperti ini tentu sangat sukar ditemui dalam sistem hukum yang tak merujuk pada Al Quran dan As Sunnah.