Terdapat juga salah satu keunikan lagi dibalik arti dan makna serta penggunaan gaya bahasa pada surat Al-Fatihah. Salah satunya adalah pada bagian kala Allah mengecam orang-orang Musyrik, dengan predikat, “Wa la ad-dhallin” [bukan pula golongan orang-orang yang tersesat]. Siapa mereka? Mereka adalah orang-orang Musyrik, Arab Jahiliyah, yang tidak mempunyai pengetahuan tentang kebenaran, dan bersikukuh dengan kebodohan mereka. Karena itu, mereka juga dimurkai oleh Allah SWT.
Karena itu, bisa disimpulkan, jika manusia mempunyai ilmu tentang Allah, dan menggunakan ilmu untuk menemukan kebenaran [al-Haq], maka pasti akan ketemu. Dia akan menemukan, “Shiratha al-Mustaqim” [jalan yang lurus], yaitu Islam. Tetapi, jika dia tidak menggunakan ilmu, maka yang dia temukan adalah jalan “al-Maghdhubi ‘Alaihim wa la ad-Dhallin” [orang yang dimurkai dan tersesat].
Ketiga, dari aspek bahasa, struktur kalimat Q.s. al-Fatihah ini juga bisa dipilah menjadi dua. Pertama, jumlah ismiyyah [kalimat nominal]. Kedua, jumlah fi’liyah [kalimat verbal]. Coba perhatian, ayat 2-4, semuanya berbentuk jumlah ismiyyah [kalimat nominal]. Sedangkan ayat 5-7, semuanya berbentuk jumlah fi’liyah [kalimat verbal]. Apa rahasianya?
Dalam kajian ilmu Balaghah, khususnya Ma’ani, kalimat dengan struktur Jumlah Ismiyyah mempunyai konotasi permanen, tidak berubah, seiring dengan waktu dan tempat, karena bersifat fiks. Coba perhatikan:
“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Yang menguasai di Hari Pembalasan.” [Q.s. al-Fatihah: 1-4]
Konotasi kalimat di dalam ayat-ayat ini, “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Yang menguasai di Hari Pembalasan.” bersifat permanen, tidak berubah, seiring dengan waktu dan tempat, karena bersifat fiks.
Ini berbeda dengan struktur Jumlah Fi’liyyah, yang mempunyai konotasi temporer, bisa berubah, seiring dengan waktu dan tempat, karena tidak bersifat fiks. Sekarang perhatikan:
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” [Q.s. al-Fatihah: 5-7]
Konotasi kalimat di dalam ayat-ayat ini, “Hanya Engkaulah yang kami sembah.”, “Hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.”, “Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” bersifat temporer, bisa berubah, seiring dengan waktu dan tempat, karena tidak bersifat fiks.
Keempat, tentang keseimbangan [tawazun]. Pertama, keseimbangan antara ilmu dengan tindakan [tawazun bain al-‘ilmi wa al-‘amal]. Kedua, keseimbangan antara isim dan fi’il [tawazun bain al-ismi wa al-fi’l]. Ketiga, keseimbangan antara harapan dan tanggungjawab [tawazun bain al-amal wa al-mas’uliyyah]. Keempat, keseimbangan antara kewajiban beribadah dan meminta pertolongan [tawazun bain al-ibadah wa al-isti’anah]. Kelima, keseimbangan antara ilmu dan amal dengan diperolehnya petunjuk jalan yang lurus, di satu sisi. Di sisi lain, ketika ilmu tidak digunakan dalam amal, atau amal tanpa ilmu, maka akan mendapati jalan orang-orang yang dimurkai, dan jalan orang-orang yang tersesat.
Begitulah indahnya Q.s. al-Fatihah, dan begitulah dahsyat makna surat tersebut. Bukti, bahwa al-Qur’an ini bukanlah susunan manusia biasa, tetapi merupakan mukjizat luar biasa, yang diturunkan oleh Allah SWT kepada hamba-Nya. Wallahu a’lam.