Pada masa Khalifah Utsman bin Affan, beliau menggagalkan hukuman rajam bagi seorang wanita yang melahirkan dengan usia kehamilan enam bulan dan menolak tuduhan zina. Hal itu beliau lakukan pasca mendapat nasehat dari Ali bin Abi Thalib yang berdalil dengan Alquran Surat al-Ahqaf ayat 15 dan al-Baqarah ayat 233. Pada ayat pertama disebutkan bahwa masa perempuan mengandung dan menyusui bayinya adalah 30 bulan. Sementara ayat kedua hanya menjelaskan tentang waktu menyusui saja, yakni dua tahun atau 24 bulan.
Dengan dua ayat di atas, Ali bin Abi Thalib menyimpulkan bahwa usia minimal kandungan hingga melahirkan adalah enam bulan. Khalifah ketiga yang terkenal dermawan itupun tak segan untuk mengambil pendapat rakyatnya dan mengubah pendapat pribadinya.
Berderet kisah di atas dan kisah serupa yang tak disebutkan dalam tulisan ini menunjukkan bahwa kritik dan nasehat terhadap penguasa merupakan bagian dari ajaran Islam dan bagian dari syariah yang agung.
Dalam sistem pemerintahan Islam, hukum yang diterapkan memanglah hukum terbaik yakni hukum buatan Allah yang Maha Sempurna. Namun Khalifah sebagai pelaksananya adalah manusia yang tak luput dari salah dan lupa. Nasehat dan kritik adalah bentuk rasa cinta rakyat terhadap pemimpin agar pemimpin tak tergelincir pada keharaman dan jatuh pada murka Allah.
Rasulullah SAW bahkan menyatakan dengan spesifik kewajiban serta keutamaan melakukan muhasabah (koreksi) kepada penguasa. Al-Thariq menuturkan sebuah riwayat:
قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَيُّ الْجِهَادِ أَفْضَلُ قَالَ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ إِمَامٍ جَائِرٍ
“Ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah saw, seraya bertanya, “Jihad apa yang paling utama.” Rasulullah saw menjawab,’ Kalimat haq (kebenaran) yang disampaikan kepada penguasa yang lalim.“ [HR. Imam Ahmad]
Dalam sabdanya yang lain yang diriwayatkan Imam Muslim dari Ummu Salamah, Rasulullah Saw bersabda:
سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا
“Akan datang para penguasa, lalu kalian akan mengetahui kemakrufan dan kemungkarannya, maka siapa saja yang membencinya akan bebas (dari dosa), dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat, tapi siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka)”. Para shahabat bertanya, “Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat” Jawab Rasul.” [HR. Imam Muslim]
Dalam sistem politik Islam, terdapat majelis ummah atau majelis syura sebagai tempat merujuk bagi Khalifah untuk meminta masukan atau nasihat mereka dalam berbagai urusan. Mereka mewakili umat dalam melakukan muhâsabah (mengontrol dan mengoreksi) para pejabat pemerintahan (al-Hukkâm). Keberadaan majelis ini diambil dari aktivitas Rasul Saw. yang sering meminta pendapat dan bermusyawarah dengan beberapa orang dari kaum Muhajirin dan Anshar yang mewakili kaum mereka.
Hal ini juga diambil dari perlakuan khusus Rasulullah Saw. terhadap orang-orang tertentu di antara para Sahabat Beliau untuk meminta masukan dari mereka. Beliau lebih sering merujuk kepada mereka yang diperlakukan khusus itu dalam mengambil pendapat (dibandingkan dengan merujuk kepada Sahabat-sahabat lainnya). Di antara mereka adalah: Abu Bakar, Umar, Hamzah, Ali, Salman al-Farisi, Hudzaifah dan lainnya.
Muhasabah terhadap penguasa merupakan adalah bagian dari syariah Islam yang agung. Dengan muhasabah, tegaknya Islam dalam negara akan terjaga. Ketika Islam tegak, pasti akan berdampak pada kebaikan sebuah negeri. Seorang pemimpin yang beragama Islam harusnya tak perlu alergi kritik. Terlebih jika sampai membungkam lawan politik dengan ancaman bui. Wallahu a’lam bis shawab.[]