1
Motivasi News Parenting

Kisah Ibu yang Menyesal Karena Tidak Mendidik Maksimal Anak-Anaknya

Google+ Pinterest LinkedIn Tumblr
Advertisements
webinar umroh.com

Di sebuah pelosok desa, hidup seorang perempuan bernama Fatimah. Dia tinggal di sebuah rumah dan tinggal bersama dengan suami dan juga ketiga anaknya. Anak pertamanya berjenis kelamin perempuan bernama Aisyah, anak kedua dan ketiga adalah laki-laki bernama Ali dan Arsyad. Keluarganya hidup bahagia dengan berkecukupan harta dan ketiga anaknya sudah belajar menghafal Alqur’an.

Namun, kebahagiaan itu pudar ketika suaminya harus keluar dari tempatnya bekerja karena sakit yang diderita. Perekonomian keluarga mulai goyah, sehingga terpaksa Fatimah yang harus bekerja dengan berjualan kue keliling desa untuk mencukupi kebutuhan makan, sekolah ketiga anaknya dan berobat suaminya.

Semua tabungan telah habis , barang berharga yang dimiliki juga sudah terjual. Namun Fatimah tak patah semangat untuk terus berusaha demi keluarga yang sangat dicintainya. Tidur larut malam karna harus mempersiapkan kue yang akan dijual esok harinya, bangun dini hari demi memasak makanan buat keluarga dan mempersiapkan keperluan anak dan suaminya ketika akan ditinggal berjualan.

Berjalan menyusuri jalan raya di bawah terik matahari yang panasnya begitu menyengat, sehingga baju dan kerudungnya basah oleh peluh dan keringat. Semua itu Fatimah lakukan dengan ikhlas dan penuh semangat. Wajah keluarga yang selalu terbayang di depan matanya selalu membuatnya kuat.

Tapi semua tekad dan semangat itu seakan lenyap begitu saja, menguap tanpa sisa-sisa. Badan Fatimah menjadi terkulai lemas, perutnya pun terasa sakit seperti ditusuk-tusuk oleh benda tajam, kakinya juga terasa ngilu serasa lepas semua tulangnya. Karena melihat anak perempuannya berboncengan diatas motor dengan seorang pria yang bukan mahramnya, bahkan tanpa mengenakan jilbab.

Aisyah, putri yang sangat dicintainya. Putri yang cantik dan juga cerdas, yang selama ini dibanggakannya. Kini telah membuatnya terluka, seolah Aisyah menorehkan sayatan luka dihatinya. Serasa Aisyah telah melempar kotoran di wajahnya, dan ini sungguh membuatnya merasakan nestapa.

Fatimah berjalan perlahan dan hendak menuju rumahnya, dia juga berharap jika masih ada setitik asa. Namun bagaikan hujan yang turun tanpa didahului oleh datangnya awan, dia terkejut bukan kepalang saat dia mendapati suasana rumahnya yang terasa seperti neraka. Fatimah melihat Ali dan Arsyad saling bertengkar dan saling membentak. Suasana yang belum pernah Fatimah rasakan.

“ Kamu jangan balas kalau kak Ali pukul, aku ini kakakmu. Sama seperti saat ayah memukul kita, kita juga dilarang membalasnya karena dia ayah kita “ bentak Ali kepada Arsyad.

webinar umroh.com

Kemudian Arsyad menyadari kedatangan ibunya dan kemudian berlari menuju Fatimah. Memeluk Fatimah dan berkata “ Ibu, kenapa sekarang ayah, kak Ali dan kak Aisyah jahat. Mereka suka marah-marah dan memukul, Arsyad takut bu “. Ucapan Arsyad seolah menambah sayatan luka hati Fatimah yang masih menganga, dia terpaku tak bisa berbuat apa-apa kecuali hanya bisa memeluk Arsyad.

Satu masalah yang menyebabkan terjadinya masalah-masalah yang lain. Karena Fatimah lupa menanamkan arti sebuah ujian pada keluarganya yang selama ini hidup dalam kebahagiaan tanpa kekurangan. Dia lupa mengingatkan suaminya bahwa dengan ujian sakit adalah sebagai penggugur dosanya, bahwa suaminya akan tetap menjadi kepala keluarga yang bertanggungjawab terhadap keluarganya.

Fatimah sudah lupa untuk mengajari anak-anaknya dan memahamkan mereka bahwa ujian adalah niscaya bagi orang yang beriman. Fatimah sudah kehilangan suatu kesempatan, dan dia tidak ingin hal itu terulang lagi dimana dia tidak mau kehilangan kesempatan untuk selamanya. Oleh karena itu, dia harus bersedia untuk mau memulai dari awal lagi, meski harus sebentar berhenti dari pekerjaannya. Karna ridho Allah bagi keluarganya adalah yang utama ketimbang harta dunia dan seisinya.