Umar bin Khattab merupakan Sahabat Rasulullah yang dikenal keras dan tegas. Namun, ia sesungguhnya merupakan seseorang dengan hati yang lembut. Sifat itu tercermin saat ia menjadi Khalifah.
Blusukan di Saat Malam
Suatu malam ketika Umar bin Khattab menjadi khalifah, ia keluar bersama Aslam. Keduanya menuju daerah Hurrah, yang letaknya di luar Kota Madinah. Di perjalanan, tiba-tiba keduanya melihat nyala api dari kejauhan. Umar kemudian berkata, “Aku melihat ada api. Sepertinya api yang dipasang oleh suatu kafilah yang kemalaman dan kedinginan. Mari kita pergi ke sana”.
Keduanya bergegas menuju ke tempat asal cahaya api itu. Mereka berjalan secepat-cepatnya, hingga berlari. Setiba di tempat, keduanya mendapati seorang wanita yang sedang bersama anak-anaknya. Umar juga melihat ada periuk yang tergantung di atas api. Sementara itu, anak-anaknya merintih dan menangis.
Bertemu Seorang Ibu Miskin
Umar kemudian menyapanya, “Assalamualaikum, wahai orang yang mempunyai cahaya”. Umar tidak suka mengatakan orang yang mempunyai api.
Wanita itu kemudian menjawab, “Waalaikumsalam”. Umar bertanya, “Bolehkah saya mendekat?”. Wanita tersebut berkata, “Mendekatlah dengan baik atau pergilah”.
Umar kemudian menanyakan apa yang sedang terjadi. Wanita itu menjelaskan, “Kami kemalaman dan kedinginan”. Umar kemudian bertanya, “Mengapa anak-anak ini menangis?”. Wanita itu menjawab, “Kelaparan”.
Umar bertanya sambil menunjuk periuk, “Dan apa yang ada di dalam periuk ini?”. Wanita itu berkata, “Air. Saya tanak untuk mendiamkan tangis anak-anak agar mereka tidur dengan sendirinya”.
Wanita itu kemudian berujar, “Ah, Allah, bagaimana kami dengan Umar”. Umar kemudian berkata, “Moga-moga kamu dirahmati Allah. Tentu Umar tidaklah mengetahui keadaanmu ini”. Rupanya wanita tersebut tidak mengetahui bahwa yang ada di hadapannya adalah Amirul Mu’minin, Umar bin Khattab.
Wanita itu menyahut, “Adakah pantas ia memegang kendali terhadap kami (memimpin), tetapi ia melalaikan kami?”.
Memikul Beban Sendiri
Umar kemudian menoleh kepada Aslam dan berkata, “Marilah kita kembali”. Keduanya kemudian kembali ke Madinah. Mereka mengambil gandum dari gudang penyimpanan tepung gandum. Sekarung gandum dikeluarkan, kemudian Umar meminta Aslam untuk memikulkan sekarung gandum itu di punggungnya sendiri.
Aslam pun berkata, “Biarlah aku sendiri yang memikulnya”. Namun Umar bin Khattab bersikeras ingin memikul sendiri sekarung gandum itu. Aslam juga bersikeras menunjukkan niatnya untuk membantu membawakan karung gandum itu.
“Apakah engkau sanggup memikul dosaku di hari kiamat?”, tanya Umar kepada Aslam. Mendengar pertanyaan itu, Aslam kemudian menuruti keinginan Umar. Dibantunya Umar bin Khattab menaikkan sekarung gandum ke punggungnya. Keduanya kembali berjalan ke tempat wanita tadi berada.
Sesampainya kepada wanita itu, Umar meletakkan karung gandum dan memintanya untuk menghindar. Umar ingin menyalakan api dan memasakkan makanan untuk keluarga itu. Umar berusaha keras menyalakan api, hingga janggutnya yang tebal dipenuhi dengan asap.
Setelah makanan matang, disuruhnya wanita itu mengambil piring dan memberikan makanan itu kepada anak-anaknya. Wanita dan anak-anaknya kemudian makan hingga kenyang.
Setelah mereka kenyang, Umar dan Aslam beranjak, hendak kembali. Ditinggalkannya kelebihan gandum di dalam karung yang tadi dibawanya. Sesaat sebelum keduanya pergi, wanita itu berkata, “Terima kasih banyak. Semoga Allah membalas jasamu. Engkau lebih pantas memegang pekerjaan ini daripada Amirul Mu’minin”.
Umar pun berkata, “Baiklah, dan jika kelak engkau pergi menghadap Amirul Mu’minin, tentu engkau akan bertemu dengan aku di sana. Insya Allah”.
Ketika Umar dan Aslam berjalan beberapa langkah, Umar merapatkan telinganya ke tanah, seolah-olah ingin mendengarkan sesuatu. Umar kemudian berdiri dan berkata pada Aslam, “Sekarang senanglah hatiku, telah kudengar anak-anak tadi tertawa.
“Wahai, Aslam”, kata Umar. “Anak-anak itu tadi menangis. Rupanya karena amat lapar. Belum senang hatiku pergi sebelum terdengar mereka tertawa”.