Quality time menjadi hot issue yang menarik dalam konteks pengasuhan, terutama ketika dihadapkan pada fakta orang tua bekerja. Para pakar parenting menekankan quality time bersama seluruh anggota keluarga sebagai upaya membangun komunikasi dan hubungan baik ortu-anak. Lee Raby, seorang penulis dan psikolog dari University of Minnesota, Amerika, menyatakan, hubungan yang dekat dan hangat antara orangtua dan anak harus ditanamkan sejak dini, demi investasi jangka panjang kehidupan si kecil kelak.
Konsep quality time sesungguhnya tidak pernah ditemukan dalam masyarakat Islam. Karena keluarga-keluarga muslim yang terikat syariat dalam pembagian peran laki-laki dan perempuan di ranah domestik maupun publik, serta tumbuh dalam naungan kehidupan yang Islami, tidak mengalami problem komunikasi dan pengasuhan. Konsep ini justru berasal dari masyarakat Barat yang sakit, dimana ayah dan (atau) ibu memiliki kesibukan luar biasa sehingga tak memiliki cukup waktu untuk menjalin komunikasi juga mempraktikkan pengasuhan. Ayah atau ibu menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bekerja di luar rumah, sementara anak-anak bersama pengasuh mereka. Akibatnya, pengasuhan dan pendidikan anak yang kenyataannya berlangsung sejak anak dilahirkan, dan tanggung jawab tertingginya ada pada orang tua, tak tertunaikan dengan baik.
Mindset kapitalisme dalam masyarakat Barat yang mendewakan materi sebagai standar kebahagiaan, menyebabkan bekerja menjadi prioritas utama. Bahkan bagi banyak keluarga, bukan semata untuk memenuhi kebutuhan, melainkan untuk mengejar semua yang serba ‘wah’. Tak sedikit yang akhirnya terbawa arus besar gaya hidup hedon. Keluarga dan anak-anak tidak lagi menjadi hal vital. Sebagian pasangan, bahkan menganggap kehadiran anak-anak sebagai beban yang menghambat karir dan pekerjaan. Menurut mereka, menambah momongan akan melahirkan kesulitan baru dalam membagi waktu antara karir dan pengasuhan.
Padahal, pelalaian hak keluarga dan pengabaian pengasuhan serta pendidikan anak adalah salah satu sebab paling fundamental kerusakan generasi dan keruntuhan keluarga. Sebut saja angka perceraian yang terus meningkat, fenomena fatherless termasuk motherless yang mengakibatkan berbagai problem turunan, seperti keterlibatan remaja dalam anarkisme, narkoba, pornografi, free sex, juga kriminalitas, akibat kehilangan sosok ayah-ibu sebagai tauladan, pelindung, pengayom, juga pendidik generasi, adalah sederet bukti tak terbantahkan yang sangat memilukan. Di Jakarta saja, sepanjang 2018 tercatat tindak kriminal rata-rata terjadi setiap 16 menit. Mengerikan!
Quality time yang digadang-gadang mampu menjawab tantangan pengasuhan dan pendidikan bagi ortu bekerja, kenyataannya tidak sanggup menghadang gelombang dahsyat kerusakan generasi juga keruntuhan keluarga yang jelas mengarah pada kehancuran masyarakat dan peradaban. Persoalan krusial, berupa investasi waktu, dalam membangun keluarga sakinah mawaddah warahmah serta membina anak-anak menjadi pribadi cemerlang, justru nyaris tak tersentuh.
Waktu berkualitas kenyataannya tidak pernah terwujud tanpa kuantitas. Karenanya, memenuhi kebutuhan anak, bukan perkara quality saja, namun juga quantity. Terbukti, semakin sering/banyak quality time dilakukan, maka akan semakin meningkatkan bonding ortu-anak juga keterlibatan ortu dalam mendorong berbagai kemampuan anak.
Oleh sebab itu, isu qualty time patut dikritisi. Quality time sejatinya bukan solusi bagi persoalan pangasuhan dan pendidikan generasi. Quality time justru sebatas ilusi, karena mustahil mewujudkan kualitas tanpa dukungan kuantitas.
Islam memandang, kualitas dan kuantitas tidak boleh dipisahkan, keduanya satu paket. Karena setiap detik yang kita punya akan diminta pertanggungjawabannya. Waktu kita harus berkualitas, bukan hanya di waktu-waktu tertentu saja, tapi di seluruh waktu. Semakin banyak kita memanfaatkan waktu (yakni menjadikannya waktu berkualitas) maka akan semakin banyak pula timbangan amal shalih kita. Maka kualitas selalu beriringan dengan kuantitas.
“Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih serta saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran.” [TQS. Al Ashr: 1-3]
Karenanya, tidak ada yang lebih utama dari pada mengembalikan peran strategis ibu dalam melahirkan generasi cemerlang untuk mewujudkan quality time sekaligus quantity time dalam pengasuhan dan pendidikan anak, ke pangkuan para ibu. Peran mulia ini tidak tergantikan, bahkan sangat utama di sisi peradaban manusia dan di sisi Rabb semesta alam.
Solusi berikutnya, adalah mewujudkan sistem pendidikan dan sistem sosial Islam untuk mengokohkan lahirnya generasi terbaik. Yang juga tak kalah penting adalah mewujudkan sistem politik dan ekonomi Islam untuk membangun masyarakat yang kuat dan sejahtera sehingga para ibu tak perlu ikut membantu mencari nafkah dan para ayah tetap bisa memainkan perannya sebagai qawwam dalam keluarga dan pendidik anak-anak sebagai aset masa depan umat dan Islam.[]