Kehidupan di era peradaban saat ini memang tragis. Di sebuah sisi, masyarakat tercekik dengan berbagai kubutuhan yang kian menukik. Sedang di sisi lainnya, menjadi jutawan bahkan milyader bisa diraih hanya dengan melakoni profesi sebagai pengemis.
Sebuah pemberitaan menghebohkan jagat maya. Seorang pengemis mengaku bahwa dirinya memiliki aset dan tabungan hingga Rp 1 miliar lebih. Dan semua itu dihasilkan hanya dengan bermodalkan uluran tangannya saja.
Seperti dilansir oleh liputan6.com, seorang pengemis bernama Legiman (52) yang tercatat sebagai warga Ngawen, Kecamatan Margerojo, Pati, Jawa Tengah terjaring razia yang dilakukan oleh Satpol PP setempat pada Minggu, 12 Januari 2019 lalu.
Saat kejadian itulah, didapati uang Rp 695 ribu dari tangan lelaki dengan panggilan Lek Man Ceker tersebut. Dan menurutnya, pendapatannya itu termasuk dalam kategori sepi. Sedang ketika ramai pendapatannya mampu mencapai Rp 2,5 juta saban harinya. Fantastis!
Terlepas benar atau tidaknya pengakuan sang peminta, besar kemungkinan memang keadaannya tidaklah nestapa dilihat dari jumlah penghasilan yang didapat saat terjaring razia. Karena saat razia sebelumnya, Lek Man ini merogoh hasil Rp 1 juta lebih dari kantongnya.
Sudah menjadi rahasia bersama memang, meminta bukanlah didasari rasa terpaksa karena terhimpitnya keadaan. Melainkan profesi yang sangat menjanjikan. Begitulah pengemis era kapitalis.
Bahkan terdapat beberapa kampung di beberapa wilayah yang mendapatkan julukan sebagai kampung pengemis. Sebab hampir sebagian besar bahkan seluruh penduduknya berprofesi sebagai tukang pengharap iba demi berlembar rupiah yang dikumpulkan dengan bermodal penampilam lusuh juga pakaian penuh tambal. Salah satunya adalah Kampung Baru di Kota Bekasi.
Padahal larangan untuk mengemis atau menggelandang telah diatur dalam Pasal 504 dan Pasal 505 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Yang pelakunya bisa dikenai sanksi hukuman kurungan penjara selama 6 bulan.
Selain itu terbit juga berbagai perda di berbagai wilayah yang melarang adanya praktik mengemis dan menggelandang. Peraturan tersebut juga melarang warga memberikan uang atau pun barang kepada si pengemis. Salah satunya adalah perda DKI Jakarta No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.
Namun sayangnya peraturan-peraturan itu bagaikan angin lalu. Pembinaan yang dilakukan usai razia pun tanpa menyisakan pengaruh. Karena nyatanya praktik mengemis ini bak benalu. Terus saja menjadi sarana pencari nafkah dengan cara termudah. Asal tangan menadah, tergenggam berlembar rupiah.
Selain ketiadaan lapangan pekerjaan yang mencukupi bagi warga. Mereka juga tak memiliki keterampilan yang bisa menjadi modal untuk bisa bersaing. Akhirnya terdoronglah mereka untuk menapaki jalan pintas demi terpenuhinya segala kebutuhan di era sekulerisme yang serba bebas.
Tak hanya itu, kerusakan cara berfikir masyarakat yang senantiasa memisahkan peran agama dalam kehidupan menjadikan mereka manusia yang lalai akan adanya balasan di kehidupan akhirat.
Setetes kenikmatan dunia yang menyilaukan mata. Seolah kehidupan ini sekedar pemenuhan hajat dan naluri belaka. Yang penting segala asa bisa terpenuhi segera. Tanpa peduli apakah cara yang dilakukan membuahkan pahala atau malah menabung dosa. Inilah mental liberal.
Di dalam islam, meminta-minta hukum asalnya adalah terlarang. Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa meminta-minta kepada orang lain dengan tujuan untuk memperbanyak kekayaannya, sesungguhnya ia telah meminta bara api; terserah kepadanya, apakah ia akan mengumpulkan sedikit atau memperbanyaknya” (HR. Muslim)
Hanya saja, jika dalam keadaan fakir dan darurat seseorang baru diperbolehkan meminta-minta. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Wahai Qabishah! Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi salah satu dari tiga orang: Seseorang yang menanggung beban (hutang orang lain, diyat/denda), ia boleh meminta-minta sampai ia bisa melunasinya, kemudian berhenti. Dan seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup. Dan seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya mengatakan, ‘Si fulan telah ditimpa kesengsaraan hidup,’ ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup. Wahai Qabishah ! Meminta-minta selain untuk ketiga hal itu adalah haram, dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram”
Disinilah harusnya negara mengambil peran sebagai pengatur urusan umatnya. Melalui sistem pendidikan, negara memberikan pemahaman wajibnya bekerja dalam memenuhi kebutuhan. Begitu juga memahamkan mereka bahwa meminta adalah cara hina yang diharamkan di dalam Islam.
Jika ada individu yang tetap malas bekerja maka penguasa dalam hal ini khalifah berkewajiban memaksanya. Seperti yang dilakukan oleh Khalifah Umar yang mengusir dan membekali setakar biji-bijian untuk orang-orang yang berdiam di masjid ketika yang lainnya bekerja.
Kemudian, negara pun wajib mengupayakan ketersediaan lapangan pekerjaan melalui berbagai sektor pertanian dan kehutanan, kelautan, tambang dan peningkatan volume perdagangan dengan berbagai kebijakannya.
Di bidang industri, negara akan mengembangkan alat-alat produksi yang mendorong tumbuhnya industri-indutri lainnya. Sehingga lapangan pekerjaan betul-betul mewujud ketersediaannya. Bukan soalan janji tanpa realita.
Haruskah kita terus terpedaya oleh tipu-tipu penguasa yang mati rasa? Menanggalkan logika, menampik aturan sang Pencipta? Hingga menjamurlah kehidupan tak bermoral penuh kemaksiatan.