-Jika lahan yang dimaksud adalah lahan yang berbentuk lahan pertanian, maka harus dilihat dengan perincian sebagai berikut.
Jika kepemilikan dan penguasaan lahan pertanian itu dilakukan secara individu, sepanjang lahan tadi dimakmurkan, maksudnya dikelola agar lahan menjadi produktif, maka negara memberi jaminan kepada setiap individu untuk memiliki lahan pertanian, berapapun besaran dan luasannya, selama mampu mengelola dan memakmurkannya.
Akan tetapi halnya, jika kepemilikan ini hanya untuk menguasai tetapi tidak mengelolanya, bahkan nanti justru akan menelantarkannya, maka jika penelantaran lahan pertanian ini melebihi batas waktu 3 (tiga) tahun, makan negara akan segera merampas atau mengambil alih secara paksa lahan pertanian yang ditelantarkan ini, dengan tujuan untuk kemudian diberikan kepada individu rakyat lainnya yang produktif, yang mampu mengelolanya, demi terealisisasinya esensi kepemilikan lahan pertanian, yakni untuk dimanfaatkan atau agar lahan pertanian bisa berproduksi.
Illat (sebab) langgeng atau permanennyanya kepemilikan lahan pertanian adalah jika tujuannya untuk mengelolanya, memakmurkannya, baik itu dengan cara menanami lahan pertanian tersebut dengan tanaman holtikultura, biji-bijian, buah-buahan, sayur-sayuran, atau yang lain semacamnya. Namun jika lahan pertanian ini nantinya justru ditelantarkan, dan penelantaran itu sampai waktu lebih dari tiga tahun, maka kepemilikan lahan ini ilegal dan negara berhak merampasnya.
Jika kepemilikan dan penguasaan lahan pertanian itu dilakukan melalui korporasi, dan korporasi itu adalah perseroan saham sebagaimana yang umum dilakukan saat ini, maka korporasi perseroan saham ini wajib dibubarkan atau dikonversi kedalam Syirkah Islami (Inan, Abdan, Wujuh, Mudhorobah, mawafaqoh).
Selanjutnya individu atau syirkah Islami ini diminta untuk mengelola lahan sebatas yang mampu dikelola, bukan seperti saat ini dimana perseroan saham (PT) mengelola ratusan ribu bahkan jutaan hektar lahan pertanian dengan menperkerjakan para pekerja.
Dengan dua mekanisme ini, maka lahan pertanian akan terdistribusi secara alamiah dan merata kepada rakyat, dan tujuan syariah untuk merealisir kemaslahatan umat bisa terpenuhi. Islam tidak mengenal istilah Land Reform (Reformasi Agraria) yang merampas hak tanah secara zalim kemudian membagikannya secara merata kepada rakyat.
Islam juga mengharamkan konsep kebebasan kepemilikan, sehingga korporat perseroan saham (PT) bisa mengangkangi jutaan hektar lahan pertanian dan menghalangi individu rakyat lainnya untuk mengakses dan memiliki lahan pertanian.
Semua ini hanya bisa dilakukan jika negeri ini menerapkan syariat Islam secara kaffah, dan tentu saja sebuah negara harus berlandaskan pada aturan dan ketentuan syariat Islam. Karena hanya aturan syariat Islamlah yang bisa memberikan solusi tuntas atas permasalahan-permasalahan tersebut.
Hanya saja, para taipan lahan baik pertanian maupun hutan, para gembong sawit dan karet, tentu tidak akan ridlo Islam diterapkan. Karena konsekuensi jika Islam diterapkan, maka demi hukum lahan mereka harus dikembalikan kepada negara dan selanjutnya negara membagikannya kepada individu rakyat. [].