Banyaknya umat yang menganut Islam di Pulau Jawa hingga hari ini, tidak lepas dari peran Walisongo. Walisongo adalah sembilan orang wali yang menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Kehadiran mereka di sekitar abad 14 membuat Islam dapat diterima oleh sebagian besar penduduk Jawa saat itu. Hal tersebut merupakan sesuatu yang sangat luar biasa, mengingat abad abad, sebelumnya Islam adalah agama yang ditolak di pulau Jawa.
Masyarakat Jawa, yang dulunya menganut agama Hindu, Budha dan Kapitayan, berhasil memahami Islam dan akhirnya memutuskan menjadi seorang muslim dalam kurun waktu 50 tahunan saja. Keberhasilan tersebut tidak lepas dari metode dan strategi yang digunakan oleh Walisongo saat berdakwah. Seperti apa cara dakwah walisongo?
Maulana Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim merupakan Walisongo yang pertama di tanah Jawa. Cara beliau berdakwah adalah mendekati masyarakat dengan memperbaiki taraf hidup masyarakat saat itu. Maulana Malik Ibrahim berdakwah dengan membuka warung murah, pengobatan gratis, serta mengajari masyarakat bercocok tanam. Cara ini terbukti menarik hati masyarakat setempat untuk mengenal Allah lewat keikhlasan yang ditunjukkan oleh Beliau.
Sunan Ampel
Sunan Ampel memiliki Ayah seorang ulama dari Samarkand di Asia Tengah. Beliau datang ke Nusantara dan kemudian menikah dengan Putri Bupati Tuban. Mulai saat itulah Sunan Ampel memiliki nama Raden Rahmat.
Sunan Ampel berdakwah dengan memperbaiki moral masyarakat, yaitu dengan mengajarkan untuk menjauhi 5 hal tercela : tidak berjudi, tidak mabuk-mabukan, tidak mencuri, tidak menghisap candu, dan tidak berzina.
Sunan Giri
Sunan Giri, yang merupakan menantu Sunan Ampel ini, memanfaatkan kekuasaan dan jalur perniagaan untuk berdakwah. Beliau juga mendirikan pesantren yang mendidik murid-murid, bukan hanya dari Jawa namun juga dari Kalimantan, Makassar, hingga Tidore. Hingga saat ini, Pesantrennya masih ada dan bernama Pesantren Luhur Malang.
Sunan Giri juga menciptakan beberapa tembang dan permainan untuk anak-anak. Salah satu yang paling dikenal hingga saat ini adalah Cublak-Cublak Suweng yang mengajarkan agar manusia tidak menuruti hawa nafsu dalam mencari harta atau kebahagiaan.
Sunan Bonang
Sunan Bonang dikenal sebagai seorang dalang. Dengan memanfaatkan keahliannya, beliau mengadakan pertunjukan wayang untuk menyebarkan ajaran Islam. Inilah yang membuat dakwahnya lebih mudah diterima oleh masyarakat setempat waktu itu.
Sunan Drajat
Sunan Drajat dikenal sangat bijak dalam menyebarkan agama Islam. Beliau rutin mengadakan dakwah lewat pengajian, pesantren, serta memberikan petuah dalam menyelesaikan masalah. Sunan Drajat juga menggunakan kesenian tradisional, seperti menggunakan tembang pangkur yang diiringi oleh gending Jawa. Beliau juga menggunakan ritual adat tradisional untuk menyampaikan ajaran agama Islam.
Sunan Kudus
Para wali sebenarnya sangat kesulitan untuk mencari pendakwah ke Kudus, karena karakter masyarakat yang masih sangat teguh memeluk agama Hindu saat itu. Sunan Kudus kemudian mendekati masyarakat dengan cara yang sangat halus. Beliau menggunakan simbol-simbol Hindu – Budha untuk menyebarkan Islam. Hal tersebut tampak dari bangunan menara masjid yang beliau bangun di Kudus, yang bentuknya mirip pura atau candi.
Selain itu, beliau juga menambatkan seekor sapi di halaman masjid untuk menarik simpati masyarakat setempat. Sapi merupakan hewan suci bagi pemeluk Hindu. Beliau melarang pengikutnya untuk menyembelih sapi saat Idul Adha, serta menceritakan kisah dalam surat Al Baqarah (Sapi Betina). Berkat strategi yang lembut itu, banyak warga yang terpikat dan kini Kudus dikenal sebagai salah satu kota santri.
Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga, yang dikenal sebagai seniman budayawan, filsuf, dan waliyullah, ini menggunakan budaya masyarakat setempat untuk mengajarkan Islam. Beliau lihai memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam budaya Jawa yang sudah ada saat itu. Salah satunya adalah berdakwah dengan menggunakan wayang kulit, dengan menyajikan cerita yang berbau Islam. Beliau juga menciptakan lagu Lir Ilir, serta bedug yang digunakan untuk memanggil umat muslim untuk shalat. Selain itu, Sunan Kalijaga juga menciptakan budaya Grebeg Maulid di Demak untuk memperingati kelahiran Rasulullah.
Sunan Muria
Sunan Muria, yang merupakan Putra Sunan Kalijaga ini, meniru cara dakwah ayahnya yang menggunakan pendekatan budaya Jawa. Sunan yang dimakamkan di Gunung Muria, Kudus, ini tidak lantas mengharamkan tradisi kuno yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Cara beliau berdakwah dikenal dengan nama Topo Ngeli, yang artinya adalah menghanyutkan diri dalam masyarakat. Beliau lebih senang berdakwah di masyarakat di daerah pelosok dengan menggunakan kesenian Jawa. Tembang macapat Sinom dan Kinanti adalah tembang yang digunakan untuk mengajak umat mengamalkan ajaran Islam.
Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati adalah wali yang berhasil menyebarkan agama Islam di Jawa Barat. Cucu Prabu Siliwangi, dari Kerajaan Pajajaran ini, berdakwah dengan menggunakan akulturasi budaya. Beliau tidak menggunakan bahasa Arab, namun menggunakan adat dan budaya lokal lewat kesenian daerah. Misalnya adalah dengan menggunakan gamelan Sekaten untuk mengundang keramaian di hari Idul Fitri dan Idul Adha. Masyarakat yang ingin menyaksikan pertunjukan gamelan tersebut harus membayarnya dengan dua kalimat syahadat. Karena itulah gamelan Sekaten sebenarnya berasal dari kata ‘syahadatain’ atau dua kalimat syahadat.