Sultan bergelar Sang Halilintar ini sangat dihormati oleh warganya. Ia naik tahta setelah sang ayah, Sultan Murad, tutup usia. Ketika ia menjabat sebagai pemimpin kerajaan Ottoman, ia berhasil menundukkan Bulgaria, Bosnia, Slanik, Albania, dan Balkan.
Pemimpin yang Disegani
Berbagai penaklukan itu membuat namanya kian besar, hingga membuat pemimpin-pemimpin di Eropa segan terhadapnya. Dia adalah Sultan Bayazid I. Sultan yang dikenal perkasa dan membuat 120 ribu tentara Hungaria tak berkutik saat Perang Salib.
Baca juga: Bikin Mewek! Begini Kisah Ummu Ibrahim Al Haasyimiyyah
Kala itu, Raja George IV memerintahkan para tentara untuk mengusir kaum muslim dari Eropa. Namun rencana itu gagal dan menorehkan nama Sultan Bayazid I sebagai pemimpin muslim yang perkasa.
Kisah Sultan Bayazid dan Sang Hakim
Namun Sultan Bayazid I pernah tidak berkutik ketika seorang Hakim menolak kesaksiannya. Saat itu, Sultan Bayazid I mendatangi pengadilan untuk memberi kesaksian pada suatu perkara. Di sana, Sultan Bayazid menghadap Syamsuddin Fanari, hakim yang dikenal bijaksana dan alim.
Ketika Sultan Bayazid I duduk di kursi saksi, sang hakim lantas berkata, “Sultan, kesaksian Anda tidak bisa saya terima di pengadilan saya ini”. Orang-orang di dalam ruang sidang tercengang. Mereka terkejut, tidak percaya, dan bertanya-tanya, apa gerangan yang membuat sang hakim berani menolak kesaksian sultan bergelar Sang Halilintar itu?
Dalam hati Sultan bertanya, “Mengapa tidak bisa diterima?”.
Alasan Kesaksian Sang Sultan Tidak Diterima
Sang Hakim kemudian menjawab, “Karena saya tahu, Anda tidak mengerjakan shalat fardhu secara berjamaah. Orang yang tidak melaksanakan shalat fardhu berjamaah tanpa uzur yang dibolehkan memiliki potensi untuk berbohong dalam kesaksian mereka”. Ucapan sang hakim yang berwibawa itu membuat semua yang mendengarnya tertegun. Mereka paham dengan ucapan sang hakim, namun tidak berani membayangkan bagaimana nasib sang hakim yang telah berani berkata demikian kepada sultan yang mengangkatnya. Jika perkataan itu membuat Sultan marah, bukan tidak mungkin sang hakim akan dipenggal oleh para askar.
Kalimat yang diucapkan sang hakim bukan dugaan sepele. Hal tersebut merupakan tuduhan serius yang bisa merusak martabat sang sultan. Bisa dibilang, hal itu merupakan sebuah penghinaan.
Sultan Memerintahkan untuk Membangun Masjid
Di luar dugaan, Sultan Bayazid yang mendengar jawaban itu hanya menunduk. Tanpa sepatah katapun, ia membalikkan badan dan meninggalkan ruang sidang.
Segera setelah meninggalkan pengadilan, Sultan Bayazid memerintakan untuk membangun masjid di dekat istananya. Masjid Jami’ kemudian dibangun sebagai tempat ibadah untuk sultan dan rakyat. Setelah masjid itu berdiri, Sultan senantiasa melaksanakan shalat berjamaah di sana setiap hari bersama para rakyat.
Harga pas di kantong, yuk pilih paket umroh anda di Umroh.com!
[xyz-ihs snippet="Iframe-Package"]
Hikmah dari Kisah Tersebut
Kisah yang dituturkan ‘Utsman Nazzar dalam kitab Hadiqatu as-Salathin (Taman-Taman Para Sultan) itu memberi banyak hikmah kepada kita.
1. Shalat Berjamaah Menghindarkan Seseorang dari Sifat Munafik
Dari kisah yang ditulis ratusan tahun yang lalu itu, kita bisa belajar tentang pentingnya shalat berjamaah di masjid. Shalat fardhu berjamaah di masjid setiap hari akan membuat seseorang terhindar dari sifat munafik.
Menurut ulama yang juga merupakan Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, Abdullah Ibnu Mas’ud, orang yang tidak shalat berjamaah di masjid adalah orang yang munafik. Diriwayatkan oleh Imam Muslim, Ibnu Mas’ud pernah berkata, “Aku telah melihat bahwa orang yang meninggalkan shalat jamaah hanyalah orang munafik, di mana ia adalah munafik tulen. Karena bahayanya meninggalkan shalat jamaah sedemikian adanya, ada seseorang sampai didatangkan dengan berpegangan pada dua orang sampai ia bisa masuk dalam shaf”.
Sedangkan Syekh ‘Abdullah Al Fauzan menjelaskan, “Seseorang yang meninggalkan shalat jamaah menunjukkan akan beratnya dia menjalankan shalat. Ini pertanda bahwa hatinya terdapat sifat kemunafikan. Untuk lepas dari sifat tersebut, marilah menjaga shalat jamaah”.
2. Kepatuhan Pemimpin terhadap Ulama yang Bijaksana
Kedua, kita belajar tentang bagaimana sikap pemimpin yang patuh terhadap nasihat yang diberikan para ulama. Sultan Bayazid I, yang dikenal perkasa dengan julukan ‘Sang Halilintar’ itu, nyatanya tidak menunjukkan sikap semena-mena terhadap ulama yang menasehatinya. Padahal ulama sekaligus hakim tersebut memberi nasihat di depan umum, yang bisa membuat martabatnya turun di mata rakyat yang mendengar.
Akan tetapi, hal tersebut justru membuat Sultan Bayazid dengan rendah hati melakukan introspeksi dan memperbaiki kesalahannya. Tanpa pikir panjang, ia memberikan perintah untuk mendirikan masjid di dekat istana, yang kemudian digunakannya untuk shalat berjamaah.
Punya rencana pergi umroh bersama keluarga Anda? Yuk wujudkan impian Anda cuma di umroh.com!
Kisah tersebut juga menunjukkan bahwa dahulu, ulama memiliki kedudukan yang tinggi. Jika seorang pemimpin mampu menaklukan berbagai wilayah di dalam tangannya, tetapi ia tetap akan tunduk dengan apa yang dikatakan para ulama. Karena pemimpin kala itu mengetahui, bahwa apa yang dikatakan para ulama memiliki dasar yang sangat kuat, dan disampaikan tidak dengan hawa nafsu. Ulama di masa itu menjadi penerang, sekaligus panutan bagi setiap orang.
3. Keberanian untuk Mengutarakan Kebenaran dengan Cara yang Baik
Ketiga, dari sang hakim yang juga ulama itu, kita bisa belajar untuk senantiasa mengatakan kebenaran. Hakim yang bernama Syekh Syamsuddin Fanari itu dengan tenang menyampaikan apa yang diyakininya sebagai kebenaran, bahwa orang yang meninggalkan shalat berjamaah tidak bisa dipercaya dan memiliki potensi karakter munafik.
Baca juga: Ini Sosok Abu Musa, Sahabat Rasulullah yang Penuh Talenta
Akan tetapi, hal itu disampaikan dengan tenang dan tidak menggebu-gebu, sehingga semua yang mendengarnya bisa merasakan wibawanya. Wibawa sang ulama itulah yang kemudian menggerakan sang Sultan untuk segera memperbaiki kesalahannya.