Mustahil Allah ciptakan anak anak kita tanpa peran istimewa kelak, walau maaf, anak idiot sekalipun. Kesempurnaan manusia nampak pada potensi kekuatan yang melengkapi keterbatasannya.
Kasus 1. Ada orangtua mengeluh anaknya yang 4 tahun, sangat pemalu, sangat pendiam, bahkan tidak mau “bersalaman” dengan tamu, nampak lebih suka menyendiri, anti sosial, penakut, tukang melamun dsbnya. Keluhan orangtuanya sebagian muncul karena merasa malu, khawatir dianggap tidak bisa mendidik anak sopan santun, khawatir dianggap tidak mampu mendidik anaknya bersosial dsbnya. Sangat ingin melihat anaknya aktif bersosial dsbnya.
Kasus 2. Sementara ada orangtua yang mendapatkan anaknya punya sifat sebaliknya dari kasus di atas. Usianya juga sekitar 5 tahun, namun sangat cerewet sehingga membuat pusing, sangat ramah pada siapapun sehingga barangkali mudah diculik, jika bertemu tamu, bukan hanya bersemangat “bersalaman” namun sering nampak “kurang ajar”, “kepo”, berani menemani tamu dan “sok akrab” gitu. Keluhan orangtuanya sebagian juga muncul karena rasa malu, khawatir dianggap tidak bisa mendidik anak, sangat ingin lihat anaknya kalem dan santun dsbnya.
Coba renungkan dua kasus sederhana yang berlawanan di atas, namun intinya sama, yaitu kita para orangtua seringkali tidak bersyukur, dalam makna tidak mampu melihat sisi cahaya anak anak kita. Kita lebih sibuk melabelkan negatif, berusaha menghilangkan “sifat keunikannya” yang kita anggap kelemahan daripada menemukan potensi kekuatannya. Lalu kita nanti baru menyesal ketika mereka kelak menjadi pemuda galau tanpa peran istimewa.
Kita rupanya juga lebih sibuk dengan membangun “citra diri” sendiri daripada mengutamakan “harga diri” anak. Barangkali masa anak anak kita jauh dari bahagia, sering dituntut begini begitu yang sebenarnya bukan diri kita sejati.
Memang berdosa jika menjadi anak yang pendiam? Memang berdosa menjadi anak yang cerewet? Kita selalu ingin buru buru melihat anak berstatus shalih, padahal shalih itu amal yang memerlukan proses dan waktu juga relevan dengan sifat unik masing masing. Seringkali sifat unik atau fitrah bakat itu dibenturkan dengan adab karena ketidaksyukuran kita atas potensi fitrah anak anak kita. Bukankah hanya hamba yang bersyukur yang Allah berikan hikmah yang banyak untuk mendidik?
Anak pendiam umumnya pemikir dan peneliti hebat, anak cerewet umumnya komunikator ulung, bahkan anak penggerutu umumnya adalah kritikus atau auditor yang handal. Yakinlah semua keunikan anak kita kelak akan menjadi peran peran peradaban istimewa terbaik yang memberi manfaat bagi dunia.
Abu Bakar yang kalem dan perasa tidak mungkin menjadi Umar yang berapi api dan tegas, begitupula sebaliknya. Keduanya memiliki keistimewaan masing masing.
Yakinlah bahwa mustahil Allah menciptakan anak-anak kita tanpa peran istimewa kelak di masa depan. Maka bersyukurlah atas semua potensi fitrah yang Allah berikan. Bershabarlah pada proses, semuanya akan indah pada waktunya bila tepat mendidiknya. Fitrah ibarat benih, yang kelak akan menjadi pohon yang baik dengan buah yang memberi manfaat bagi sekitarnya.